Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Keterhinggaan Api dan Kewajaran Tanah

Keterhinggaan Api dan Kewajaran Tanah
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Alam, sebagaimana malaikat--yang pekerjaan permanennya adalah ya'malu ma yu'marun alias hanya mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah--tak pernah bergeser sejengkal pun dari kewajaran. Kewajaran matahari adalah menerangi dengan adanya dan menggelapkan dengan tiadanya. Kewajaran angin adalah menapasi dan melemparkan. Kewajaran air adalah meminumi dan menenggelamkan.

Kewajaran manusia adalah kesetiaan berjuang manage dan mengendalikan takaran cahaya matahari agar menyehatkan, takaran kendali angin agar menyamankan, takaran luas tanah agar menyeimbangkan, serta takaran nyala api agar menghangatkan.

Puasa adalah metode untuk melemparkan manusia dari garis lebih ke garis kurang agar menemukan titik tengah. Puasa adalah disiplin yang menyeret manusia dari wilayah minimal agar ia mengerti khairul'umuri ausathuha: sebaik-baik urusan ialah yang ditengah-tengahnya. Kalau api terlalu kecil, nasi tak matang; kalau api terlalu besar; nasimu gosong.

Bukankah kebudayaan dan pembangunan kita cenderung ber-'agama'-kan api? Bukankah umat manusia dari zaman modern ini bagaikan memeluk kepercayaan Majusi--orang menyembah api? Orang-orang memproduksi barang-barang yang tidak dikontrol apakah ia sungguh-sungguh diperlukan oleh sedemikian rupa sehingga kalau barang-barang itu tidak ada, maka umat manusia akan dihadang bahaya besar? Orang-orang yang pada tatanan kewajaran hidupnya tidak memerlukan sesuatu hal digiring untuk merasa yakin bahwa mereka membutuhkannya.

Orang-orang menjual segala sesuatu dan membeli segala sesuatu yang penting-tidaknya ditentukan tidak oleh akal sehat dan kewajaran hidup, tetapi oleh berita-berita dan videoklip takhayul-takhayul artifisial.

Bukankah hal demikian adalah penyembahan terhadap api, yang satu sulutnya bisa membakar bukan hanya satu rumah, bukan hanya satu kampung, tapi bahkan bisa membakar seluruh alam semesta? Bukankah kita hidup di suatu era peradaban dimana satu orang bisa merasa tidak cukup memiliki hanya tiga ratus perusahaan yang masing-masing beromzet lebih besar dibanding harga kekayaan sebuah kecamatan atau bahkan sebuah kabupaten? Dan bukankah hal itu memedomani sifat api bebas? Dan bukankah bertambahnya omzet ratusan perusahaan itu sama sekali tidak membuat pemiliknya merasa kaya, tetapi justru merasa semakin miskin? Karena tanda orang kaya adalah 'merasa cukup' dan tanda miskin adalah 'merasa belum cukup'?

Maka puasa hadir ke dalam kepalamu tatkala pikiranmu bertanya:
"Benanrkah aku perlu makan di restoran semahal itu?"
"Benarkah ada sesuatu yang prinsipil yang mengharuskanku membeli barang ini?"
"Benarkah ada padaku kewajaran nilai yang mewajibkanku merebut pemilikan saham-saham itu?"
Maka puasa merasuk ke dalam dadamu ketika mulutmu berbisik ke telinga nuranimu sendiri.
"Apakah memang aku harus mengambil political decision yang sedahsyat ini, yang dampaknya adalah kesengsaraan sekian banyak rakyatku sendiri?"
"Apakah aku memang wajib mempertahankan kekuasaan ini demi sesuatu yang mendasar dan berorientasi kepada kepentingan mayoritas rakyatku?"
"Sampai kapan aku akan mendalangi semua itu dengan keyakinan bahwa ini semua adalah yang terbaik bagi masa depanku sendiri serta masa depan keluargaku sendiri?"

Sumber: Buku Tuhan Pun Berpuasa
hal (25-27)

You Might Also Like:

Buka Komentar