Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Keranjang Sampah

 

Indonesia yang Suci Murni

Menjelang sore hari, bersama dua orang teman saya dolan ke Kebun Jeruk Jakarta Barat. Tapi yang akan kami temui, tidak ada.

Salah seorang ustadz mengatakan bahwa beliau sedang pergi ke Kediri, Jawa Timur, kemudian terus ke Lombok.

Kami tentu saja menyesal, karena dua tiga kali ketika saya pernah ke sini dulu; selalu saya bisa makan enak dan sebanyak-banyaknya, tanpa harus pekewuh atau menjalani 'syariat budaya' macam-macam.

Saya tergolong amat susah makan, sehingga usus dan organ tubuh saya yang lain banyak menggangur. Jadi awet, tak gampang aus. Kalau seandainya hidup ini bisa dijalani dengan hanya makan seminggu sekali, betapa besar syukur saya mau makan hanya berdasar suasana hati dan berlangsungnya persahabatan dengan entah siapa yang makan bareng dengan saya.

Tapi gimana. Kita ini sejenis 'hewan', meskipun bukan pemamah biak, tapi pemamah segala jenis makanan, bahkan sudah berkembang menjadi pemamah proyek, pemamah sahabat sendiri pemamah aib orang lain, dan lain sebagainya.

Kita ini kanibal-kanibal yang lebih nikmat memberitakan dan mempergunjikan keburukan orang, daripada mengiklankan kebaikan dan kemuliaan. Teman kita memberikan 90% penghasilannya kepada kepentingan sosial, kita tak acuh saja; nanti sekali dia buang angin sampai bunyi di tengah rakaat shalat--kita rasani dia habis-habisan.

***
Karena beliau tak ada, saya ninggali surat. Tak ada kata-kata dikertas itu kecuali, pertama, la ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadhdhalimin. Kedua, innama asyku batstsi wa huzni ilallah. Dan ketiga, wa la ya'uduhu hifdhuhuma wahuwal'aliyyul 'adhim.

Kalimat yang pertama itu tradisi dan 'hobi' ndreming saya sehari-hari: Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau, dan sesungguhnya aku tergolong di antara orang-orang yang dhalim.

Di pengajian kebangsaan Padhang Mbulan, itu merupakan ucapan 'wajib', dan terlebih-lebih lagi bagi saya sendiri. Indonesia ini negara dan bangsanya suci murni, sementara saya bergelimang dosa, belepotan kotoran.

Berbuat baik, bisa menjadi keburukan dan bahaya bagi orang lain. Bekerja dan berkarya, bisa hanya memproduk kedengkian dan kianat pada orang lain.

Beramal, bersedekah, bisa malah membuat saya menjadi budak orang lain.

Jadi pengakuan kedhaliman diri di hadapan Allah adalah jalan terbaik agar Allah tetap sayang kepada saya dan tetap mempercayai saya untuk menjalankan tugas hidup tertentu, meskipun kecil-kecilan dan tak besar manfaatnya bagi masyarakat.

Kalimat kedua adalah 'lagu tangis' saya sehari-hari juga. Sambil bengong di kendaraan, sambil memejamkan mata di tengah keramaian, sambil tengkurap di kamar-- saya sangat senang mbrebes mili, menerembeskan airmata dan bersentimentilria kepada-Nya: Hanya kepada-Mu kuadukan segala beban, duka derita dan kesunyian hidupku....

Kalimat yang ketiga adalah penumpahan kepercayaan bahwa Ia maha memelihara langit dan bumi. Biasanya kalau baca ayat Kursy, bagian yang itu saya ulang sembilan kali. Baik buruk hidupku kulaporkan kepada-Nya untuk diadili. Engkau adalah penghuni bumi dan langit yang dijaga oleh-Nya, dan karena itu engkau borgol tangan eksistensimu di hadapan kuasa-Nya. Allah merawat keseimbangan langit bumi, dan sepenuhnya terserah Ia jika seandainya demi keseimbangan sunnah-Nya itu engkau disuguhkan sebagai makanan yo jin yo setan yo demit, yo periprayangan yo druhun dimemonon lengeng ya kodim koramil, yo polsek yo aktivis, yo cangkem trocoh yo koran yo tabloit... engkau rela, engkau Islam, engkau ikhlas.

Itu semua akan memerdekakanmu, dan engkau gagah dalam kemerdekaan sunnah-Nya itu.
(halaman 58-61)


Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit :Zaitun
Cetakan Pertama 1998
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar