Hati yang Duduk Tahiyat dan PT. Udelmu Bodong
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Cak Nun sering mengatakan bahwa posisi hati yang terbaik dan menghasilkan ketentraman yang paling maksimal adalah hati yang 'duduk tahiyat'.
Kalau hati tidur, kehidupan mati. Kalau hati berdiri, apalagi berlari dan jelalatan kesana kemari, hidup bukan penuh kegelisahan, tapi dikepung oleh kecemasan. Para pesilat, di saat-saat istirahat di tengah latihan atau pertandingan, biasanya mengambil posisi duduk tahiyat. Bersila juga bagus, tapi kalau sewaktu-waktu ada serbuan, posisi bersila kalah cepat antisipasinya di banding duduk tahiyat.
Duduk tahiyat adalah duduk standby. Atau eling lan waspada, kata orang Jawa. Duduk tahiyat adalah duduk tenang namun siaga. Adalah duduk sehat untuk struktur badan dan berkemampuan menentramkan hati. Ketenteraman bukan kelembekan dan pasifme, melainkan dialektika yang lentur dan dinamis dengan kemungkinan 'tidur' maupun 'perang'.
"Duduk itu artinya tidak terbaring tidur tapi juga tidak berlari-lari. Hati yang frustasi adalah hati yang ditidurkan dengan pil atau budaya pelarian. Hati yang cemas adalah hati berlari-lari kesana kemari. Ketentraman adalah mendudukan hati pada posisi yang paling muthmainah, membimbingnya untuk mengambil posisi yang paling strategis untuk tidak 'mati' tapi juga tidak 'berlari kesana kemari'. Maka itulah duduk tahiyat".
"Itulah hati yang selesai. Segala jenis ketidaktentraman hidup bersumber dari bahaya dan ancaman yang dikandung oleh keinginan yang dibiarkan memperoleh hegemoni dalam batin manusia, sehingga hatinya berlarian kesana kemari."
"Orang bersedih karena suatu hal, dan kadar kesedihannya itu sebanding dengan kadar keinginannya atas sesuatu itu, yang kemudian tidak tercapai. Orang kecewa, orang geram, orang frustasi dan stress, orang putus asa, orang naik pitam dan mengamuk--salah satu sumbernya adalah janji-janji 'sunyi' di balik keinginan."
"Engkau iri, cemburu dan dengki, sumbernya hanya satu: karena engkau tidak memiliki sesuatu yang engkau cemburui. Bahkan akhirnya engkau anti mobil, hanya karena engkau tidak punya mobil. Fobimu terhadap hal-hal yang tidak bisa engkau miliki engkau perkuat dengan teori-teori perjuangan, firman, wacana-wacana ideologi dan filsafat."
"Kalau engkau melihat orang berjuang dan berhasil, engkau mengecamnya sebagai penghianat dengan segala macam alibi. Sesungguhnya alasan di bilik hatimu sederhana: Mestinya engkau yag melakukan perjuangan itu dan engkau yang mendapatkan sukses itu. Aku pernah dimintai turur memandu seorang 'Raja' yang akan menyerahkan kekuasaannya. Temanku menuduhkan sebagai penghianat yang berkongkalikong dengan Raja, meskipun produknya jelas Raja kemudian turun. Masalahnya sederhana: hati kecil temanku mengatakan mestinya ia yang diminta melakukan hal itu, mestinya ia yang terlibat dalam penurunan Raja itu."
"Dia pikir ikut menurunkan Raja berarti tokoh, dan ia tidak rela kenapa bukan dia tokoh itu. Kemudian kalau ia melihatku makan roti, ia berpikir bahwa roti itu sogokan Raja. Sampai-sampai, untuk menenangkan teman-teman itu, aku pernah melaporkan kepada mereka bahwa aku memang dihadiahi dua perusahaan oleh Raja. Yang pertama P.T Dengkulmu Mlicet, yang kedua P.T Udelmu Bodong".
"Engkau marah kepada orang yang makan di restoran, yang cat rumahnya berkilau, Mercedesnya tampak dari luar pagar--itu sungguh-sungguh karena engkau amat sangat menginginkan rumah dan mobil itu namun tidak memilikinya. Yang engkau salahkan bukan dirimu sendiri, bahkan bukan orang yang engkau cemburui. Yang engkau salahkan bahkan rumah dan mobil itu sendiri."
"Hatimu tak pernah selesai. Engkau menyediakan dirimu untuk disiksa oleh berbagai sukucadang ketidaktentraman hidup. Salah satu sebabnya ialah karena engkau menyangka ada hubungan mutlak antara harta benda, jabatan, sukses dlsb. itu dengan keinginan-keinginan. Padahal tidak mesti ada. Bahkan kalau engkau menjadi Menteri atau Presiden atau jabatan apapun karena memang sudah lama engkau menginginkannya dan mengupayakannya dengan segala macam ongkos, ekonomi, kultural dan pengorbanan harga diri, --apa enaknya, karena toh memang itu yang engkau cita-citakan dengan penuh dendam rindu."
"Tapi kalau tanpa pernah menginginkannya tiba-tiba engkau mendapatkannya, itu artinya namanya durian runtuh di sisi kaki engkau tatkala hanya masuk hutan untuk mencari kayu. Kenikmatan yang lain adalah engkau bersikap rileks saja kepada durian itu, karena engkau mendapatkannya tanpa pernah mencita-citakannya. Engkau bersikap nothing to loose. Engkau tidak akan mempertahankan jabatan engkau dengan segala cara, dengan KKN, manipulasi, mobilisasi, rekayasa-rekayasa 18 jurus licik, sampai-sampai menjadi bahan tertawaan, tak tahu malu, dan kelak akan benar-benar menghancurkan hidup Anda sendiri bersama keluarga dan handai tolanmu."
"Bahkan karena engkau memang tidak posesif terhadap jabatan itu, maka perilaku dan kinerjamu menjadi lebih sehat, hati-hati, cool, rasional, realistis, sehingga malah jauh dari kemungkinan jatuh dari jabatanmu."
"Hati yang selesai adalah hati yang tidak heboh oleh macam-macam obsesi dan nafsu, tidak sibuk ribut dengan skenario-skenario individual dan subyektif. Hati yang selesai adalah hati orang tua menjelang maut. Engkau tak perlu menunggu tua untuk menerapkan hati tua. Hati yang--atas informasi dari akal--mengerti mana yang sejati mana yang palsu, mana yang abadi, mana yang sementara, mana yang wajar dikejar-kejar, mana yang kita tenang-tenang saja."
"Indonesia boleh terus krisis, tapi bagi setiap manusia berakal dan hatinya selesai: semesta kenyataan hidup ini sangat-sangat-sangat jauh lebih luas dibanding tujuh langit yang kita inginkan, tujuh cakrawala yang kita bayangkan, serta tujuh samudera yang kita perhitungkan. Di dalam konsep dan perwujudan hidupmu, bisa engkau dirikan 'negara' yang lebih luas dari Indonesia Raya. Tahun 1978, 23 tahun silam, aku menerbitkan buku yang berjudul "Indonesia, Bagian Dari Desa Saya".
"Setengah mati engkau berdoa agar Tuhan memberi buah manggis, dan engkau jengkel kepada-Nya karena lama tak juga dikasih. Padahal sudah menyiapkan duren, nanas, manggam dan macam-macam lainnya untukmu. Yang ditunggu Tuhan hanya bunyi doamu yang tak usah memfetakompli-Nya: 'Tuhan, kasihlah saya apa saja yang bai bagiku menurut-Mu."
(halaman 29-33)
Sumber : Buku Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib
Dipublikasikan : Banawa Maiyah
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Cak Nun sering mengatakan bahwa posisi hati yang terbaik dan menghasilkan ketentraman yang paling maksimal adalah hati yang 'duduk tahiyat'.
Kalau hati tidur, kehidupan mati. Kalau hati berdiri, apalagi berlari dan jelalatan kesana kemari, hidup bukan penuh kegelisahan, tapi dikepung oleh kecemasan. Para pesilat, di saat-saat istirahat di tengah latihan atau pertandingan, biasanya mengambil posisi duduk tahiyat. Bersila juga bagus, tapi kalau sewaktu-waktu ada serbuan, posisi bersila kalah cepat antisipasinya di banding duduk tahiyat.
Duduk tahiyat adalah duduk standby. Atau eling lan waspada, kata orang Jawa. Duduk tahiyat adalah duduk tenang namun siaga. Adalah duduk sehat untuk struktur badan dan berkemampuan menentramkan hati. Ketenteraman bukan kelembekan dan pasifme, melainkan dialektika yang lentur dan dinamis dengan kemungkinan 'tidur' maupun 'perang'.
"Duduk itu artinya tidak terbaring tidur tapi juga tidak berlari-lari. Hati yang frustasi adalah hati yang ditidurkan dengan pil atau budaya pelarian. Hati yang cemas adalah hati berlari-lari kesana kemari. Ketentraman adalah mendudukan hati pada posisi yang paling muthmainah, membimbingnya untuk mengambil posisi yang paling strategis untuk tidak 'mati' tapi juga tidak 'berlari kesana kemari'. Maka itulah duduk tahiyat".
"Itulah hati yang selesai. Segala jenis ketidaktentraman hidup bersumber dari bahaya dan ancaman yang dikandung oleh keinginan yang dibiarkan memperoleh hegemoni dalam batin manusia, sehingga hatinya berlarian kesana kemari."
"Orang bersedih karena suatu hal, dan kadar kesedihannya itu sebanding dengan kadar keinginannya atas sesuatu itu, yang kemudian tidak tercapai. Orang kecewa, orang geram, orang frustasi dan stress, orang putus asa, orang naik pitam dan mengamuk--salah satu sumbernya adalah janji-janji 'sunyi' di balik keinginan."
"Engkau iri, cemburu dan dengki, sumbernya hanya satu: karena engkau tidak memiliki sesuatu yang engkau cemburui. Bahkan akhirnya engkau anti mobil, hanya karena engkau tidak punya mobil. Fobimu terhadap hal-hal yang tidak bisa engkau miliki engkau perkuat dengan teori-teori perjuangan, firman, wacana-wacana ideologi dan filsafat."
"Kalau engkau melihat orang berjuang dan berhasil, engkau mengecamnya sebagai penghianat dengan segala macam alibi. Sesungguhnya alasan di bilik hatimu sederhana: Mestinya engkau yag melakukan perjuangan itu dan engkau yang mendapatkan sukses itu. Aku pernah dimintai turur memandu seorang 'Raja' yang akan menyerahkan kekuasaannya. Temanku menuduhkan sebagai penghianat yang berkongkalikong dengan Raja, meskipun produknya jelas Raja kemudian turun. Masalahnya sederhana: hati kecil temanku mengatakan mestinya ia yang diminta melakukan hal itu, mestinya ia yang terlibat dalam penurunan Raja itu."
"Dia pikir ikut menurunkan Raja berarti tokoh, dan ia tidak rela kenapa bukan dia tokoh itu. Kemudian kalau ia melihatku makan roti, ia berpikir bahwa roti itu sogokan Raja. Sampai-sampai, untuk menenangkan teman-teman itu, aku pernah melaporkan kepada mereka bahwa aku memang dihadiahi dua perusahaan oleh Raja. Yang pertama P.T Dengkulmu Mlicet, yang kedua P.T Udelmu Bodong".
"Engkau marah kepada orang yang makan di restoran, yang cat rumahnya berkilau, Mercedesnya tampak dari luar pagar--itu sungguh-sungguh karena engkau amat sangat menginginkan rumah dan mobil itu namun tidak memilikinya. Yang engkau salahkan bukan dirimu sendiri, bahkan bukan orang yang engkau cemburui. Yang engkau salahkan bahkan rumah dan mobil itu sendiri."
"Hatimu tak pernah selesai. Engkau menyediakan dirimu untuk disiksa oleh berbagai sukucadang ketidaktentraman hidup. Salah satu sebabnya ialah karena engkau menyangka ada hubungan mutlak antara harta benda, jabatan, sukses dlsb. itu dengan keinginan-keinginan. Padahal tidak mesti ada. Bahkan kalau engkau menjadi Menteri atau Presiden atau jabatan apapun karena memang sudah lama engkau menginginkannya dan mengupayakannya dengan segala macam ongkos, ekonomi, kultural dan pengorbanan harga diri, --apa enaknya, karena toh memang itu yang engkau cita-citakan dengan penuh dendam rindu."
"Tapi kalau tanpa pernah menginginkannya tiba-tiba engkau mendapatkannya, itu artinya namanya durian runtuh di sisi kaki engkau tatkala hanya masuk hutan untuk mencari kayu. Kenikmatan yang lain adalah engkau bersikap rileks saja kepada durian itu, karena engkau mendapatkannya tanpa pernah mencita-citakannya. Engkau bersikap nothing to loose. Engkau tidak akan mempertahankan jabatan engkau dengan segala cara, dengan KKN, manipulasi, mobilisasi, rekayasa-rekayasa 18 jurus licik, sampai-sampai menjadi bahan tertawaan, tak tahu malu, dan kelak akan benar-benar menghancurkan hidup Anda sendiri bersama keluarga dan handai tolanmu."
"Bahkan karena engkau memang tidak posesif terhadap jabatan itu, maka perilaku dan kinerjamu menjadi lebih sehat, hati-hati, cool, rasional, realistis, sehingga malah jauh dari kemungkinan jatuh dari jabatanmu."
"Hati yang selesai adalah hati yang tidak heboh oleh macam-macam obsesi dan nafsu, tidak sibuk ribut dengan skenario-skenario individual dan subyektif. Hati yang selesai adalah hati orang tua menjelang maut. Engkau tak perlu menunggu tua untuk menerapkan hati tua. Hati yang--atas informasi dari akal--mengerti mana yang sejati mana yang palsu, mana yang abadi, mana yang sementara, mana yang wajar dikejar-kejar, mana yang kita tenang-tenang saja."
"Indonesia boleh terus krisis, tapi bagi setiap manusia berakal dan hatinya selesai: semesta kenyataan hidup ini sangat-sangat-sangat jauh lebih luas dibanding tujuh langit yang kita inginkan, tujuh cakrawala yang kita bayangkan, serta tujuh samudera yang kita perhitungkan. Di dalam konsep dan perwujudan hidupmu, bisa engkau dirikan 'negara' yang lebih luas dari Indonesia Raya. Tahun 1978, 23 tahun silam, aku menerbitkan buku yang berjudul "Indonesia, Bagian Dari Desa Saya".
"Setengah mati engkau berdoa agar Tuhan memberi buah manggis, dan engkau jengkel kepada-Nya karena lama tak juga dikasih. Padahal sudah menyiapkan duren, nanas, manggam dan macam-macam lainnya untukmu. Yang ditunggu Tuhan hanya bunyi doamu yang tak usah memfetakompli-Nya: 'Tuhan, kasihlah saya apa saja yang bai bagiku menurut-Mu."
(halaman 29-33)
Sumber : Buku Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib
Dipublikasikan : Banawa Maiyah