Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Andalan-andalan Ketentraman

Andalan-andalan Ketentraman
Oleh: Emha Ainun Nadjib

"Saya pernah bersilahturahmi dengan kumpulan guru-guru sekolah dasar di sebuah provinsi dan bertanya kepada mereka sudah berapa lama menjadi guru. Ada yang satu dua tahun, ada juga yang sudah puluhan tahun. Saya bertanya lagi benarkah banyak di antara Anda diam-diam menginginkan pekerjaan lain dan sebenarnya tidak begitu ikhlas menjadi guru sekolah dasar. Wajah mereka memancar malu-malu, dan setelah beberapa dialog saya ketahui bahwa jawabannya adalah 'ya'."

"Saya meneruskan pertanyaan benarkah jauh di lubuk hati Anda terdapat impian untuk memiliki rumah besar, mobil mewah dan simpanan di bank yang menjamin kehidupan anak cucu. Jawabanya 'ya' lagi. Saya kejar terus benarkah Anda diam-diam berharap bisa memiliki semua lambang hidup sukses itu entah bagaimana caranya meskipun gaji sebagai guru ya cuma segitu-gitu saja. 'Ya' lagi.

"Terus saya uber : benarkah karena itu semua maka konsentrasi pikiran dan jiwa Anda bukan konsentrasi seorang pendidik, melainkan konsentrasi seorang pemimpi. Benarkah karena itu Anda merindukan kapan ada kesempatan untuk memper-oleh uang selain gaji, mungkin dengan cara bikin les, buku diktat, atau proyek-proyek ceperan lain sebisa-bisa. Jawaban 'ya', 'ya', 'ya'."

"Kalau saya menjadi Anda, saya berkonsentrasi mendidik murid, mempelajari segala macam wacana untuk mendidik sebaik-baiknya, mengembangkan silaturahmi dan dialog kependidikan, memperlakukan para anak didik dan semua yang terkait sesantun dan semanfaat mungkin. Kinerja kependidikan yang baik insyaallah membuat orang percaya dan merasa aman memasrahkan anak kepada saya."

"Bahkan pintu kemungkinan lain tidak mustahil akan terbuka: mereka bukan hanya merasa aman menitipkan anaknya kepada saya, tapi mungkin ada saatnya mereka juga menitipkan urusan-urusan lain kepada saya, dan mungkin itu berkaitan dengan rejeki yang ratusan kali lipat di banding gaji saya sebagai guru."

"Dengan kenyataan gaji guru yang ukurannya mustahil, saya menolak untuk mengkaitkan cita-cita punya rumah besar dan mobil mewah dengan kedudukan sebagai guru. Saya akan selesaikan hati saya. Dan itu tidak pasti berarti bahwa saya mustahil bisa memiliki rumah besar dan mobil mewah. Karena saya bisa tetap punya waktu sekian jam sehari untuk mengerjakan sesuatu di luar tugas guru.."

"Bahkan saya tetap punya peluang untuk membuktikan kepada diri saya kebenaran siklus ekonomi barokah. Bahwa rejeki hidup saya bukan dari Departemen Pendidikan, melainkan dari Tuhan saya. Dan tingkat rejeki saya paralel dengan tingkat rasa syukur saya serta dengan ketepatan saya dalam memahami kenyataan hidup saya. Allah mengatakan Aku taat kepada hamba-Ku. Kalau ia menganggap-Ku pelit, maka Aku tutup kran rejeki-Ku untuknya. Kalau ia yakin Aku ini penuh kasih sayang dan murah hati, maka Kubukakan kran rejeki itu sedinamis rasa syukur dan penghargaannya kepada-Ku".

"Di antara semua kemungkinan itu, yang paling kusiapkan dalam pikiran dan mentalku adalah jika Tuhan memilihkan rejeki tidak berupa kekayaan dunia, tetapi berupa cinta dan penerimaan-Nya atasku di kehidupan yang sejati. Kalau dalam hidup yang hanya satu kali di bumi ini aku  dianugerahi kemiskinan ekonomi sampai maut menjemput, saya tidak patheken. Itu adalah rejeki paling mahal. Sebab orang lain belum tentu sanggup menahan deraan kemiskinan, sementara saya mampu. Orang lain butuh uang banyak, rumah besar dan mobil mewah, sebagai ongkos untuk merasa bahagia. Kepribadian mereka rendah, karena untuk bisa bahagia saya tidak memerlukan modal yang merepotkan seperti itu, apalagi kalau harta itu harus dicapai melalui kecurangan dan perampokan sebagaimana banyak orang, sehingga negeri kita rusak dan terbengkalai."

"Saya tidak mengandalkan apapun saja isi dunia untuk batu-bata bangunan kebahagian dan ketentraman hidup. Sebab dunia, harta, kekuasaan, popularitas, sangat rapuh, menthel dan temporer. Sebagaimana saya tidak mengandalkan tubuh istri saya untuk  memodali cintanya kepada saya. Andalan cinta diantara kami adalah komitmen dan tanggung jawab, dan itu bersifat rohaniah, pusat dan sumbernya adalah Tuhan itu sendiri. Istri saya akan tua dan saya akan loyo, kami berdua akan aus: apa yang kami andalkan dari diri kami. Hanya muatan roh yang benar yang tidak terikat waktu dan keausan."

"Diri saya, seluruh isi dunia ini, sama sekali tidak memadai untuk digali sebagai tambang kebahagiaan dan ketentraman. Karena pencapaian bahagia dan tentram tidak terletak di luar diri saya, melainkan berbenih dan tumbuh kembang di dalam diri saya sendiri, di dalam hati yang selesai, akal yang tidak pernah tak bekerja, cara berpikir yang terhadap kenyataan."

"Orang lain menghabiskan rangsumnya di dunia, sehingga menjelang memasuki kubur ia diejek oleh harta bendanya karena ia tak berkuasa apa-apa untuk membawanya, Allah menambungkan anugerah-Nya kepadaku rejeki yang lebih tepat mometumnya dan lebih penuh gairah kenikmatannya".
(halaman 25-28)


Sumber : Buku Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib
Dipublikasikan : Banawa Maiyah 

You Might Also Like:

Buka Komentar