Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Sedang Tuhan Pun Cemburu

 
Pendekar Tak Pernah Mengeluh 

Di lesehan Malioboro kemarin malam, saya menyasikan ada wartawan mewancarai sejumlah pengamen, berbeda-beda tingkat usianya, jenis musiknya, latar belakang profesinya, dan ternyata berbeda-beda juga filosofi dan sikap hidupnya.

Mendengarkan sepatah dua kata seorang pengamen, memandangi ekspresi wajahnya, tampak guratan tertentu dari sifat dan watak masyarakat yang melahirkan dan membesarakan mereka.

Misalnya, ada perbedaan amat mendasar antara "manusia tradisional" dengan "manusia pasca-tradisional".
Yang pertama misalnya diwakili oleh ibu kita Ngatinem dan seorang bapak pemain siter yang diliput oleh wartawan tersebut. Yang kedua diwakili oleh para pengamen muda dan ber-"senjatakan" gitar.

Tentu saja, perbedaan itu tidak mutlak, tetapi benang merah "ideologi kehidupan" mereka jelas tidak sama. Yang menarik bagi saya adalah kedua pengamen tradisional itu--selama wawancara--tidak pernah mengeluh. Baik keluhan melalui kata-kata maupun nada.

Sementara pada yang muda, mungkin tak usah kita sebut "keluhan", melainkan semacam protes atau gugatan. Kita bisa menggunakan pendekatan ini: yang tua terlalu pasrah, yang muda memiliki daya kritis, daya menggugat, daya mengubah kehidupan. Karena kita adalah kaum modernis, tentu "berpihak" pada kecenderungan watak para pengamen muda.

Akan tetapi, bisa juga kita alihkan pandangan kita dengan memakai angle pendekatan yang lain. Bahwa situasi yang pasrah itu telah sanggup "menyangga" nasibnya dengan ringan, sementara yang muda merasakan bahwa nasibnya adalah beban yang menggangu. Yang tua telah berhasil memanglimai kenyaataan hidupnya sehingga apa pun saja--penderitaan, kemelaratan--ia kuasai dengan tentram.

Yang tua telah menjadi pendekar bagi hidupnya sendiri sehingga tanpa bisa keluar dari kemelaratan dan penderitaan pun tetap merasa aman. "Kang Mahakuaos itu adil dan telah mengatur rezeki setiap hamba-Nya," kata mereka dengan wajah tentram dan aman.

Maka dari itu, meskipun ia hanya diberi uang Rp 25,00 ia terima dengan ikhlas, sedangkan yang muda merasa tersinggung.

Keduanya memiliki kebenarannya masing-masing sekaligus memiliki kelemahannya masing-masing. Yang tua memendekari dirinya sendiri secara sukses, tetapi gagal memendakari perubahan-perubahan luas diluar dirinya; apalagi ditengah kehidupan yang sudah sistematik, ketika nasib seseorang ditentukan oleh orang lain dan sistem-sistem yang berlaku.

Sementara yang muda tidak bergerak untuk mendekari dirinya sendiri karena ia merasa bahwa seharusnya ia tidak memperoleh jenis nasib yang seperti ini. Ia ingin memberontak, menggugat, mengubah, dan karena itu juga tak bisa dilakukannya maka akhirnya ia hanya mengeluh.

Kita sendiri tinggal memilih diantara dua kemungkinan itu. Tidak mengeluhkan keadaan nasib diri sendiri sambil tidak juga bisa mengubah lingkungannya.

Dengan kata lain: menjadi pendekar bagi diri sendiri tanpa bisa menjadi pendekar lingkungan, atau tidak menjadi pendekar bagi dirinya sendiri dan tidak juga menjadi pendekar bagi lingkungannya.

Yang jelas, berkat "ideologi" yang pertama itulah ibu kita Ngatinem tetap optimis tetap ceria, tetap memakai kembang-kembang di rambutnya, tetap memakai makeup--sampai pada usianya yang ketujuhpuluh. Hmmm. Susah juga memilih, ya?

Akan tetapi, memang itulah dilema "manusia tradisional". Manusia yang sebelah kakinya mulai berpijak pada dinamika modernitas, sementara yang lain masih terserimpung di altar masa silam.

Pada perspektif yang lain itulah pula potret kerancuan manusia Indonesia pada zaman "serba-era" dewasa ini. Tiap saat kita membaca di koran tentang era industrialisasi dan era teknologi komunikasi atau era informasi--dan pada konteks itulah kita letakkan segala perbicangan tentang "lepas landas". Tetapi, kita tahu bahwa sebagian manusia maupun sebagian masyarakat, kita ini masih campur aduk. Di satu pihak kita telah bersentuhan dan terlibat dalam teknologi industrial dan ultra-informasi, tetapi pada saat yang sama masih kita genggam erat-erat mentalitas agraris--feodal.

 Atau sebagai masyarakat: seseorang di Hotel Mutiara Malioboro bersibuk setiap saat dengan segala kecanggihan modernitas, sementara beberapa puluh meter dari kamarnya, beratus-ratus manusia masih saja bergelut dengan dunia--nasib--pra--macam-macam segala era itu. Manusia Indonesia telah bersepakat untuk "modern, dinamis, selalu siap mengubah diri". Dan, syarat untuk itu adalah kreativitas, daya kritik, dan daya gugat--bukannya kepasrahan dan keikhlasan.

Meski demikian, kalau pada modernitas pembangunan ini telah kita bayarkan reativitas dan dinamika--tetapi tak kita terima darinya nasib yang lebih baik: saya sarankan agar "hati" kita kembali ke masa silam, yakni memasuki kembali kepasrahan, keikhlasan, dan rasa aman yang tak tergantung pada baik buruknya nasib.

Minimal, dengan demikian, Anda terhindar dari stres. (hlm 51-53)

Malioboro, Selasa 29 Januari 1991

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : SIPRESS
Cetakan pertama, 1994
Dipublikasikan : Banawa Maiyah 

You Might Also Like:

Buka Komentar