Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Karikatur Cinta

 
Mencicipi kesengsaraan beliau

Ini orang menjahit pakainnya sendiri, menambal sepatunya sendiri, selama hidupnya tidak pernah makan kenyang tiga hari berturut-turut kecuali selalu ada hari-hari kelaparan. Istrinya tidak pernah bisa seminggu penuh menyuguhkan makanan secara sempurna kecuali selalu ada saat-saat panjang yang tak ada apapun yang bisa disiapkan di meja makan rumah tangga mereka.

Jika di malam hari shalat tahajud terlalu lama di masjid sehingga pulang terlambat, suami yang kalau bersuara lirih dan kalau berjalan selalu menundukan muka ini merasa pekewuh untuk membangunankan istrinya, sehingga tidur beralaskan kayu di depan pintu rumahnya.



Tentu semua gambaran kemelaratan itu bukanlah melankoli kesengsaraan. Tetapi fitnah yang menimpanya sepanjang sejarah mungkin tak kan tertanggungkan oleh siapapun lainnya. Salah satu puncak kesengsaraan Muhammad SAW terkandung di balik salah satu statemennya yang penuh kedalaman duka: "Al-Islamu mahjubun bil-Muslimin". Islam ditutupi oleh Kaum Muslimin. Entah sedikit, entah sejumlah, entah banyak, entah kebanyakan perilaku Kaum Muslimin bukan hanya tidak merepresentasikan Islam, lebih dari itu bahkan menutupi Islam. Menutupi itu melenyapkan, mentiadakan.

Beribu kali saya terlibat dalam forum massa, umum maupun Kaum Muslimin, dan yang terindah adalah tatkala forum itu diberi judul "Memetik Kesengsaraan Rasulullah".

Beberapa kawan menanyakan apakah saya tidak tersinggung atau marah karikatur di Denmark itu. Dengan sangat berhati-hati saya memberikan beberapa jawaban: Dengan segala keburukan dan kehinaan, saya ini amat amat amat mencintai Rasulullah Muhammad SAW. Ia manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah: bagaimana mungkin ada molekul dari saya yang tak berisi cinta kepadanya. Kadar cinta saya kepada beliau membawa saya naik mabuk di atas mabuk, melayang lebih dari segala meringkuk, bahkan jauh melebihi kehidupan dan kematian saya.

Segala hinaan, ejekan, lecehan dan cercaan, sampai tingkat sebrutal apapun, tak akan mengurangi kadar cinta saya, 1 cc-pun. Cinta kepada Rasulullah memenuhi jiwa dan hidup saya, sehingga cinta saya kepada keluarga, khalayak, bangsa, negara dan ummat manusia: menjadi lebih indah, bercahaya dan penuh kedamaian, di kandungan cinta kepada beliau. Sedahsyat-dahsyat penghinaan, tak bisa menandingi kedahsyatan dan mutlaknya kematian, padahal cinta saya kepada beliau mengatasi hidup dan mati. Dan kalau Rasulullah tidak pernah marah, bahkan bersikap lembut dan selalu memaafkan orang yang menghinanya: bagaimana mungkin orang yang mencintai Rasulullah berani melakukan yang bukan kelembutan dan pemaafan?

Juga titipan Allah melalui Muhammad SAW yang bernama Islam, sangat memberi saya kecerdasan, kecerahan, kekuatan dan ketentraman yang tak akan bisa seserpihkan dikurangi kadarnya oleh segala jenis penghinaan. Islam sangat memberi perlindungan dan sandaran. Islam sendiri tidak memerlukan saya, saya yang memerlukan Islam. Bahkan kalau boleh berterus terang, segala macam cercaan itu tidak berakibat apa-apa selain menambah senyuman saya dalam Islam dan memupuk cinta saya kepada Muhammad SAW. Penghinaan itu bahkan membantu dan menambah tingkat tinggi maqam surga beliau.

Adapun tentang teman-teman Denmark itu, apakah engkau tidak mempelajari sejarah mereka, alam pikiran mereka: sehingga engkau kaget oleh jenis ekpressi mereka? Atas dasar kenyataan ke-Denmark-an yang mana dan dimensi apa pada realitas alam pandang mereka sehingga engkau mengharapkan ayam mengembik atau mengharuskan kambing berkokok?

Pun tentang Kaum Muslimin yang marah, berang, naik pitam, mengamuk: kenapa engkau heran atau mengharapkan mereka tak berbuat seperti itu? Apa engkau mereka adalah Ali bin Abi Thalib? Berdasarkan tradisi pendidikan Islam yang mana, kebudayaan keagamaan Kaum Muslimin yang mana, kedewasaan, kearifan dan kematangan kemanusiaan yang mana sehingga engkau memperhatikan amuck mereka?

Saya tidak akan meludahi mukamu, sebab aku tidak yakin engkau akan tidak marah juga seperti itu, bahkan dendanmu mungkin akan tak pernah lenyap sepanjang hidupmu. Saya juga tak akan pernah membuat karikatur menggambar wajahmu seperti kera atau tokek, karena yang amat tersinggung pasti bukan hanya engkau, tapi juga keluargamu, familimu, mungkin juga bangsa dan negaramu. Kalau aku meludahi wajahmu karena demikianah kebebasan ekspresku, maka engakaupun menempeleng kepalaku sebab, demikian jugalah kebebasan ekspresimu.

Kita gambar bersama-sama saja karikatur-karikatur cinta.****
(halaman 8-11)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progges
Cetakan 2005
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar