Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Tafsir Najibiyah yang Thing Blasur


Tafsir Najibiyah Yang Thing Blasur
Adakah seorang seniman atau sastrawan memiliki tafsir sendiri terhadap ayat Allah?
Binatang macam apa itu gerangan 'seniman' atau 'sastrawan'.

Saya termasuk yang di-definisi'-kan orang sebagai seniman atau sastrawan. Sebenarnya tidak sreg, tapi ya tidak apa-apa. Saya anggap itu seperti sebutan dalam sepakbola: ada striker, ada wingback, ada keeper, ada ballboys dan kelebet. Bahkan di desa waktu kecil ada teman yang kalau main bola memilih jadi heng. Maksudnya, hand. Atau hadsball. Lha saya lantas jadi ofset (offside) atau kornel (corner).

Tetapi dalam Islam terminologi kemanusiaan itu jelas. Sesudah kita jadi insan (manusia), kita dianjurkan untuk menjadi posisi atau status atau maqam sebagai 'abdun (hamba). 'Abdun apaan? Bukan 'abdud-dunya, bukan 'abdul-korpri, bukan 'abdul-ppp, tapi 'abdullah. Di situ Islam mengatasi segala kandungan filsafat eksistensi Barat.

Sesudah itu dianjurkan pula agar kita mempergunakan kemerdekaan hidup ini untuk nempuh maqam sebagai mu'min, muslim dan muhsin. Percaya Allah, sumarah, dan berbuat baik.

Ini ongkosnya besar, risikonya tinggi, namun juga menawarkan kebahagiaan jannatunna'im yang luar biasa. Kita sering tidak sungguh-sungguh percaya kepada Allah, karena kita terlalu menutup-nutupi kebenaran karena takut ketlarak, takut kehilangan posisi atau masa depan. Dan yang jelas takut mati. Aneh. Sudah jelas mati itu urusan Allah kok takut mati.

Maka orang-orang tua kita, dalam rangka mendorong agar kita mencapai maqam tinggi seperti itu, dinamakannyalah kita Mu'min Pranoto, Muslim Abdurahman atau Muhsin Alatas.

Jadi, 'tafsir seniman' itu tidak ada. Yang saya lakukan hanyalah tafsir seorang 'abdullah yang masih terbata-bata. Jadinya Anda kadang membaca 'tafsir najibiyah' yang thing blasur. . . .

So help me, bekerjasamalah di antara kita: dan sebagian kita ambil bagian 'akademis' yang memilahkan mana ayat mana hadis. Kritiklah kapan saya keliru. Tapi juga  perkenankan saya mengembara yang melacak ayat-ayat Allah yang tak hanya terdapat di Kitabullah, tapi juga di air sungai, di debu-debu galaksi, di ufuk-ufuk kejiwaan manusia, zaman dan sejarah serta dimana saja. Segala hadis dan sunnah Rasulullah adalah juga pertanda keagungan Allah, ayat keagungan Allah. Tapi jagalah 'administrasi akademis'-nya. Jangan biarkan saya terlalu gendheng. Don't let me be too crazy.

Kelak, tatkala manusia mencapai ilaihi raji'un, segala yang kita kenal sebagai 'ayat' dan 'hadis' itu sudah tak dipergunakan lagi. Sebab ayat dan hadis itu bukan tujuan, melainkan ilmu pengantar ke Allah. Semacam titipan shirathal mustaqim. Sesudah perjalanan sampai, tak perlu lagi repot usung-usung jembatan. Kalau Anda sudah sampai kepadanya (ilaihi raji'un), tak ada lagi jarak tempat di mana titian atau jembata itu kita taruh.
(halaman 332-334)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan
Cetakan Pertama 1992
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar