Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Martabat


Oleh: Emha Ainun Nadjib 

Alangkah rendahnya martabat manusia!
Ketika bangun pagi, seorang suami tidak ingat akan dirinya. Otakya tertuju ke suatu hal: Sampai berapa hari lagi beras kita belum habis? Suami lain bahkan bertanya: Masih punya beraskah besok? Dan suami lainnya lagi gugup: Bisa makan beraskah kita hari ini?

Padahal suami lain nun disana bertanya: Apa enak yang kita makan? Dimana enaknya kita makan? Di restoran yang untuk sekeluarga butuh uang Rp. 4.000,-, Rp. 40.000,- atau Rp. 400.000,-? Bahkan suami lainnya lagi berkata: Siapa bisa kita makan hari ini?

Alangkah rendah martabat manusia!
Kalau ia naik kendaraan umum, tak penting siapa ia dan tak ditanya apa kebutuhannya. Ia boleh bernama siapa saja. Yang penting ia akan pergi jauh atau dekat. Yang pergi jauh di istimewakan. Artinya yang memberi uang lebih banyak, diistimewakan.

Ia boleh bernama siapa saja. Yang penting ialah apakah ia bisa menyodorkan uang atau tidak. Seandainya orang itu naik kendaraan tanpa menyodorkan uang, ia akan diusir keluar, Dan seandainya yang naik kendaraan itu sejumlah uang, meskipun hanya Rp. 50,- tidaklah akan diusir, tidaklah akan dibuang, melainkan diambil.

Alangkah rendah martabat manusia!
Kalau ia memasuki toko, ia tidak ditanya siapa namanya, melainkan mau beli apa. Toko tidak pernah membutuhkan manusia. Yang ia perlukan adalah pembeli.

Kalau manusia itu berkeliaran di jalanan dalam keadaan lapar, seorang petugas akan mendatanginya dan bertanya: Mana KTP-mu? Tidak penting siapa dia, bahkan sama sekali tidak penting bahwa perutnya kelaparan.

Alangkah rendah martabat manusia!
Surat-surat tanda identitas lebih penting daripada dirinya itu sendiri. Selembar kertas lebih dipercaya daripada kemanusiaannya. Entahlag bagaimana asal mula ini semua.
(halaman 134-134)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan
Cetakan Pertama 1992
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar