Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Mati Ketawa Cara Refotnasi

 
Pisan-pisan Sambat, Rek

Termasuk sial saya ini soal piala dunia. Kapan nontonnya. Istri nunggu hari-hari melahirkan saja harus saya tinggal minggat-minggat terus. Ke Jawa Timur dalam sebulan ini ada tiga kali. Sepulang dari Surabaya baru dua hari mondar-mandir rumah sakit bersalin, hari ini sudah harus ke Staimus Solo, terus ke PP al-Huda Boyolali, terus Unika dan Forsimamupsi Semarang, terus  hari ini harus ke empat acara di Surabaya lagi: Yasfiru, Tambak Segaran, Al-Anwar dan Fortune, lantas besok shalawatan di Gramedia. Setelah itu skedul Juli sudah mengancam.

Diam-diam saya juga meras geli jauh ke dalam hati: seandainya saya ini seorang yang profesional---betapa tinggi pendapat saya. Jika sekali acara vorschot-nya 2,5 juta lagi sebelum naik mimbar--maka tiga hari acara itu saja saya sudah mengantongi duit tidak kurang dari 40 juta rupiah. Dan kalau saya turuti semua permintaan, dalam sebulan dipastikan income saya lebiih dari 2 milyar rupiah. Maka bisa dibayangkan berapa pabrik bisa saya bikin dalam hidup saya.

Alhamdulillah dan sekaligus 'sialnya' dan 'bodohnya' saya tidak pasang tarif. Dan lebih alhamdulillah lagi dan lebih 'sial' lagi karena kalau alasan tidak pasang tarif itu adalah---umapamnya---"saya datang ke masyarakat memang ada yang wajib disilahturrahmikan dengan masyarakat, entah pendidikan politik, entah upaya sinergi ekonomi, atau apapun yang bermanfaat secara sosial..."---maka biasanya orang tidak percaya. Sudah sangat sedikit orang percaya kepada idealisme, kepada prinsip zuhud, bahkan idiom lillahi ta'ala pun sudah menjadi bahan tertawaan.

Jadi, di satu sisi tak boleh pasang tarif, di sisi lain tidak percaya bahwa tidak pasang tarif itu landasannya idealisme. Udah nggak dapat duit, masih dituding yang enggak-enggak, dianggap sok suci. Terkadang saya terhibur, misalnya sesudah doa bersama sampai orang nangis-nangis, nanti berkerubunglah mereka untuk memasukkan sesuatu ke dalam saku saya. Ternyata uang seribu perak. Betapa terharunya saya. Itu ungkapan tulus dari rasa syukurnya yang bersahaja.

Saya punya satu buku besar dan panjang mengenai 'sejarah' loro lopo saya dalam soal ini. Seandainya buku besar itu saya ekspose, nanti ada 'sialnya' lagi: Kok Cak Nun ngundat-undat sih, nggak ikhlas ya?

Kalau saya beri honor besar, kawan-kawan bilang saya ini kiai komersial. Kalau saya dapat honor kecil, teman-teman mengatakan "Dia sih memang segitu kelasnya".

Kalau saya menghindari wartawan ketika membagi sembako di Kedungombo, Wesel 16, Kricak atau di manapun--sehingga umum tak tahu apa yang saya lakukan, maka teman-teman memprotes: "Mbok Cak Nun jangan hanya kasih komentar melulu, mbok ya kasih sembako...." Tapi kalau ada wartawan tahu saya membagi uang kepada saudara-saudara saya di Monas sehingga di RCTI, teman-teman bilang: "Kok takabur amat sih? Mentang-mentang kaya, pamer dan berlagak sinterklas!"

Ndilalah kersaning Allah ketika saya nulis ada telepon dari seorang mangaku 'Y'. Katanya dia habis kecopetan dan minta saya uang lima ratus ribu rupiah. Saya mencatat kejadian seperti ini, saya alami ratusan kali baik di Yogya, Jombang maupun Jakarta.

Saya menjawab agak tegas dan tega hati kali ini, "Saya boleh terus terang ya, Pak? Menurut Bapak, nafkah saya ini dari mana? Pekerjaan tetap saya itu apa? Apa saya punya perusahaan atau gimana? Atau saya dapat warisan dari Pak Harto, beigtu? Sedangkan kewajiban-kewajiban rutin saya mengurus tiga puluh anak-anak saya dan para pengasuhnya di Yogya, meladeni segala keperluan Padhang Bulan di Jombang, anak-anak pendatang yang cari kerja di Jakarta, belum lagi kuliah anak saya di Canada---setengah mati saya ngasak dan ngamen dengan keringat saya pribadi. Belum lagi orang-orang yang sudah punya sejarah lama dengan saya yang sekian bulan sekali kehabisan beras padahal anaknya lima, kontrakan rumahnya habis, yang itu kecelakaan masuk rumah sakit, yang sna butuh modal kerja...itu saja tidak bisa saya penuhi. Sekarang Sampeyan telpon saya dan minta uang lima ratus ribu rupiah karena kecopetan dan uang itu akan Sampeyan gunakan untuk 'suatu keperluan' yang Sampeyan tidak jelaskan. Seandainya saya punya, Sampeyan antrenya di belakang, karena masih banyak yang lain yang lebih berhak mendapatkan prioritas. Sekarang terserah Sampeyan, mau dhalim sama saya atau mau memahami keadaan saya. Sebab biasanya saya ini baik bagi orang lain kalau saya memenuhi keperluan mereka, dan saya buruk jika tidak memenuhi kebutuhan mereka.


(halaman 123-126)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Zaituna
Cetakan Pertama 1998
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar