Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Istriku Seribu



Tuhan Mengajak Berdikusi

"Padahal Tuhan sangat konsen terhadap proses internal individu per-manusia maupun proses eksternal dalam kehidupan sosial.

Tuhan tidak hanya memberi batasan dan perintah, melainkan menyikapi manusia sebagai makhluk yang sudah dibekali oleh-Nya dengan alat canggih yang namanya akal. Maka dalam banyak hal sesungguhnya Tuhan tidak memberi perintah, tetapi mengajak manusia berdiskusi, agar manusia memproses pemikirannya kemudian mengambil keputusan sendiri dengan akalnya.

Kalau dalam pemetaan pertanyaan-pertanyaan Tuhan, Ia hanya memberi dogma sebanyak sekitar 3,5%, ang 96,5% adalah diskusi dan demokrasi. Kapan-kapan kita paparkan ini secara lebih menyeluruh karena tidak hanya menyakut poligami.

Pada kalimat yang sama dengan radikalisasi ratusan istri menuju empat istri, Tuhan memancing kedewasaan akal manusia: "Kalau engkau takut akan tidak bisa berbuat adil, maka satu istri saja".

Itupun kalimat sebelumnya, yang menyebut istri satu atau dua atau tiga atau empat, dimulai dengan kata "maka". Artinya pasti ada anak kalimat sebelumnya. Ada latar belakangnya, ada pertimbangannya, tidak bisa dipotong di situ. Sebagaimana umpamanya di antara kita ada kalimat "makanlah daging anjing ini" tidak bisa berdiri sendiri dan diartikan sebagai hukum pembolehan makan anjing. Sebab kalimat itu diawali oleh keadaan darurat dimana tak ada apapun sama sekali yang bisa dimakan, yang ada hanya beberapa potong daging anjing. Atau sebagaiman kebolehan berwudlu dengan usapan debu atau tayammum, itu tidak berdiri sendiri, melainkan dipersyarati oleh ketidakmungkinan mendapatkan air.

Maka kawin empat itu juga berangkat dari prasyarat-prasyarat sosial yang kita himpun di samping dari yang dipaparkan oleh Tuhan dan sejarah, juga kita cari melalui aktivitas akal kita sendiri. Kawin empat, menurut kematangan akal dan rasa kalbu kemanusiaan, tidak pantas dilakukan atas pertimbangan individu. Ia sangat berkonteks sosial. Ia tidak terutama merupakan hak individu, melainkan kewajiban sosial. Kewajiban adalah sesuatu yang 'terpaksa' atau wajib kita lakukan, senang atau tidak senang. Karena masalahnya tidak terletak pada selera, kenikmatan atau kemauan pribadi, melainkan pada kemaslahatan bersama.

Engkau menjadi manusia yang tidak tahu diri kalau Tuhan mengatakan "kalau engkau takut tak bisa berbuat adil..." lantas engkau bersombong menjawab Tuhan: "Aku bisa kok berbuat adil", kemudian ambil perempuan jadi istri keduamu. Bahkan engkau nyatakan "Aku ingin memberi contoh poligami yang baik"--seolah-olah Tuhan tidak membekalimu dengan akal dan ras kalbu kemanusiaan".

(halaman 61-62)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : PROGRESS
Cetakan 2007
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar