Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Majalah Sabana Edisi 3

 
Ruwatan, Tahlukah, Penghancuran

AKU disurut menggelar lelaku Ruwatan, dan aku menayakan kepada yang menyuruhku: kenapa Ruwatan?

Ia menjawab, karena kalau kotor, harus dibersihkan.

Memang orang batal kena najis, tinggl berwudlu, untuk bisa sembahyang. Orang salah, dihukum. Orang sakit, disembuhkan. Kenapa harus ruwatan?

Karena ada kotoran pada manusia dan najis dalam kehidupan, juga ada kesalahan dan penyakit pada kehidupan yang kadarnya memerlukan tingkat pembersihan yang sangat mendasar, mengakar, bahkan meng-inti. Ada sesuatu yang merasuk meresap ke dalam jiwa dan sangat menguasai kehidupan manusia saat ini yang harus dihancurkan.

Apakah harus sampai tingkat dihancurkan, bahkan dimusnahkan, sehingga diselenggarakan Ruwatan?

Memang Ruwatan artinya penghancuran.

Apakah manusianya, kaumnya, masyarakatnya, yang harus mengalami penghancuran dan kehancuran?

Kalau memang proses penghancuran memerlukan atau meresikokan atau mengakibatkan penghancuran atau pemusnahan manusianya, tak ada yang bisa kita lakukan kecuali menerimanya. Sekali lagi: yang harus dihancurkan bukan manusianya, tetapi kalau penghancuran itu meminta atau mengakibatkan penghancuran atau pemusnahan manusiana, itu harus diterima karena memang demikianlah alam menjalankan hukumnya.

Apakah Ruwatan tidak melanggar prinsip yang diajarkan Tuhan?

Tuhan mengajarkan kebersihan, para titah melaksanakan pembersihan, dengan cara yang Tuhan mengajarkannya di dalam ritus resmi, maupun dengan cara yang diupayakan oleh manusia sendiri di luar ritus resmi, misalnya menyampu halaman, membersihkan rumah, mencuci pakaian, menguras kamar mandi, juga Ruwatan.

Apakah Ruwatan haru dilaksanakan dengan menggelar wayang?

Kita berolahraga dengan memilih sepakbola, lari pagi, badminton, berlatih silat atau apapun, sepanjang tujuan kesehatan bisa dicapai. Atau kita pergi ke Jakarta bisa lewat Cirebon atau Bandung, sepanjang bisa tiba di Jakarta. Tetapi tujuan yang diarah oleh Ruwatan memerlukan jalan dan cara yang tidak biasa, sebab bukan se-kadar dengan 'kesehatan'nya orang berolahraga serta tidak sepadan dengan 'Jakarta'-nya orang berpergian. Ia menyangkut kotoran dan kerusakan yang tidak bisa diatasi meskipun semua ilmu dan kemampuan manusia dikumpulkan untuk membersihkannya. Kalau engkau menawarkan cara dan jalan lain yang bukan Wayang yang mampu membawa kita ke takaran itu, saya membuka diri, menerima dan menyutujuinya dengan senang hati.

Kenapa tidak berdoa saja sebagaimana lazimnya kebanyakan orang?

Ya. Berdoa juga terus.

Atau Istighotsah?

Istighotsah juga.

Wirid? Dzikir? Hizib?

Itu juga. Terus menerus. Semua, apa saja yang tidak melanggar kemauan Tuhan, kita lakukan untuk memperbaiki kehidupan.

Apakah itu semua tidak cukup, sehingga harus Ruwatan/

Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu kita jalani, Legi Pahing Pon Wage Kliwon kita jalani, Alif Ba Ta A B C Ho No Tjo Ro Ko kita lakukan kita telusuri, sepanjang tidak menabrak pagar yang disusun oleh Tuhan.

Apakah Umborampe Ruwatan, yang berjumlah 84 (delapan puluh empat) yang terdiri atas tetanahan tetanaman dan hewan itu tidak menabrak pagar?

Kalau mau sungguh-sungguh lengkap dan 'sempurna' Umborampe itu jumlahnya tak terhitung, mungkin satu milyar, seratus juta atau tak terhitung sebagaimana ilmu pengetahuan kita juga tak bisa atau belum bisa mengidentifikasi seluruh unsur alam raya atau jagat semesta.

Kenapa sedemikian merepotkan diri?

Repot untuk Tuhan adalah keindahan. Tuhan menyatakan bahwa semua apa saja yang ada di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya. Kalau engkau melakukan ibadat resmi, jagat saya kau bawa dalam kesadaran dan cintamu. Di luar itu sangat terpuji kalau seluruh unsur alam semesta kau ajak untuk bertasbih kepada Tuhan. Seluruh jenis ikan di laut dan sungai, segala jenis binatang besar kecil di hutan dan petanahan manapun, segala jenis tanaman, bunga, daun, akar, buah, apapun saja. Kau ajak seluruhnya merendahkan diri dihadapan Tuhan. Itu mustahil, dan mestinya Tuhan tidak meminta demikian.

Oleh karena itu kakek-nenek moyang kita meneliti dzat-dzat, sifat-sifat, hakekat-hakekat, kemudian menghimpun data-data alam dan fakta-fakta jagat, menganalisisnya, mengidentifikasikannya, dan sejauh yang kita ketahui sampai hari ini, khusus untuk Ruwatan yang ini: nenek moyang kita merumuskan 84 macam Uborampe itu relatif mewakili segala unsur alam semesta jagat raya. Kita sendiri di era modern yang penuh kebodohan dan bergelimang kesombongan ini tidak sanggup merumuskan apa yang nenek moyang kita sudah merumuskannya.

Mungkin aku akan bisa memahami itu pada suatu hari. Tetapi aku tidak akan mengingkari kemungkinan banyak orang akan menuding hal-hal yang berkaitan dengan ruwatan ini sebagai menyekutukan Tuhan, menserikatkan Tuhan dengan sesuatu yang bukan Tuhan, menyelewengkan kebenaran, membiaskan kebaikan, atau bermacam-macam lagi tudingan dan tuduhan mereka.

Apakah kalau engkau dituduh anjing lantas engkau menjadi anjing? Andaikan mereka memiliki pengetahuan tentang anjing, mungkinkah mereka mengetahui apa anjing di dalam hati dan pikiranmu? Apakah penting engkau membiarkan masuk ke lobang telingamu kalimat-kalimat tuduhan dari siapapun yang berangkat dari ketidak-mengertian, prasangka dan fitnah? Manusia yang tidak atau belum memahami sesuatu, tidak pada tempatnya untuk menghakimi sesuatu tidak ia tak ketahui itu. Yang seharusnya mereka lakukan adalah bertanya dan belajar.

Kebetulan sejauh ini aku dikenal sebagai aktivis keagamaan, disamping sisi-sisi pengenalan atasku yang bermacam-macam lainnya. Sehingga sangat mengherankan bagi mereka bahwa aku melakukan Ruwatan.

Kenapa mereka begitu gampang kau bodohi? Melalui tanda-tanda apa dan fakta-fakta yang mana mereka bisa menyimpulkakn dan bahkan meyakini bahwa kau adalah pengamal Agama? Apakah karena pakaianmu? Karena mulutmu fasih mengutip berita-berita Kitab Suci? Atau mereka melihatmu bersujud di Rumah Ibadah? Alangkah bodohnya kalau hal-hal itu cukup membuat mereka menyimpulkan bahwa kau adalah pengamal Agama. Alangkah mudah mereka engkau tipu dan engkau perdayakan?

Seharusnya mereka belajar melihat dan mendengar kasunyatan batinmu, suara sunyi fikiranmu, kandungan sejati batin dan jiwamu.

Akhirnya ia menguraikan kepadaku: menjadi tidak mengherankan kalau tuan-rumah kebodohan semacam itu, yang jumlahnya berpuluh-puluh juta, memiliki 'kesanggupan' untuk menjalani kehidupan yang sangat menjijikan, dengan pelaku-pelaku yang mata kemanusiaan tak sanggup menatapnya, dengan pemimpin-pemimpin bergelimang kehinaan dan kedungunan, namun sangat menikmati kehinaan dan kedunguan itu.

Ruwatan harus kau selenggarakan, sekurang-kurangnya agar Tuhan menemukan bersaksi bahwa kehidupan yang berlangsung dewasa ini pada hakekatnya sudah menjadi bangkai. Di dalam kubangan-kubangan kumuh bangkai itu ummat manusia hidup menggeliat-geliat sebagai set-set, bergerak-gerak bagai belatung-belatung kecil kerdil yang memalukan dan menghancurkan hati siapapun yang mengenal betapa indahnya hidup ini sesungguhnya.

Langit memandang kehidupan di bumi sudah menjadi 'bathang' dan manusia-manusianya harus dilahirkan kembali.

Ia menggambarkan bagaimana manusia membangun Negara yang batal sebagai Negara setiap saat dan di berbagai urusan yang ditangani. Bagaimana manusia mengeruk mengeringkan Bumi dengan syahwat yang sama sekali tak dikendalikan, serta dengan keserakahan yang sangat memalukan harkat kemanusiaan. Bagaimana pengelolahan diganti dengan penguasaan. Bagaimana penataan diganti dengan pengkaplingan kepentingan. Bagaimana kebudayaan dijalani dengan kebiadaban dan watak-watak primitif. Bagaimana Agama dilakukan dengan kemunafikan, kebohongan dan menipulasi, yang asal usulnya adalah kebodohan, kesempitan dan kedangkalan....***

Yogya 4 November 2013


(halaman 79-80)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Perkumpulan Sastra Malioboro Yogyakarta
Cetakan Desember 2013
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar