Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Markesot Bertutur Lagi

 
Teknologi Sambal

Karena suatu keberuntungan, Markesot diberi Allah kesempatan beberapa kali berkunjung ke negeri tetangga, Filipina. Malam itu--di saat rakyat belum usai dari mengharu-biru kemenangan Cory pemimpin mereka--Markesot menginap di rumah Walikota Markina, Manila bagian timur.

Perjalanan ke luar negeri selalu memberi hikmah dan pelajaran besar bagi peningkatan rasa nasionalisme, di samping merenungi kembali kelebihan dan kekurangan kita sebagai bangsa. Tatkala berada di negeri orang, kita serasa berkaca. Kita berada pada suatu jarak dengan negeri kita, dan itu secara psikologi juga berarti berjarak--untuk sementara waktu--dengan diri sendiri. Maka tampaklah ganteng tidaknya wajah kita, seberapa banyak jerawat di pipi, serta hidung kita pesek atau mancung.



Yang paling menarik dari pengalaman bermalam di rumah sang walikota adalah betapa sederhananya rumah beliau. Tembok dan kayu bersahaja, tak ada perabot mewah, tak ada karpet, tak ada 'bau modernitas' di ranjang kamar tidur atau di kamar mandi. Untuk ukuran Indonesia, rumah semacam itu adalah rumah penduduk "kelas menengah kebawah," atau bahkan semacam rumah penduduk biasa, meskipun tak bisa disamakan dengan rumah "orang kecil" di kampung atau dusun Anda.

Gamblanglah di mata Markesot betapa bangsanya kaya-raya. Markesot makin terkagum-kagum di Indonesia begitu banyak orang punya mobil atau motor, rumah mewah dan bagus-bagus--sehingga Markesot sering buntu pikirannya dan bergumam: "Apa sih kerja orang itu, sehingga mampu membangun rumah sebagus itu, Bagaimana sih sebenarnya anatomi kekayaan? Kalau tetangga saya itu sekedar pegawai tingkat itu, sebenarnya harus berapa tahun sanggup menghimpun uang untuk mendirikan rumah sebagus itu? Sebenarnya apa yang terjadi dengan itu semua?"

Sederhananya rumah Walikota Marikinia itu buka sekedar karena Filipina memang relatif jauh lebih miskin dibanding negara loh jinawi bernama Indonesia. Tapi juga karena bangsa tetangga kita itu tidak memiliki model kultur yang bisa mendukung dan melancarkan mekanisme korupsi sejauh yang bisa berlangsung di Indonesia. Di negeri kita korupsi didukung bukan saja oleh sistem birokrasi, tapi juga oleh sistem nilai budaya, oleh eufemisme, oleh nilai filsafat, serta oleh 'semangat damai' kita yang luar biasa tinggi sehingga mampu 'mendamaikan' hal-hal yang sebenarnya saling bertentangan.

Di Filipina, jabatan walikota benar-benar hanya soal fungsi. Oleh para tetangga ia tidak dihormati sebagai "Raja Kecil" sebagaimana kita di sini memperlakukan seorang camat, apalagi walikota. Perilaku sang walikota juga tidak dikelilingi oleh berbagai ritus kultur kepriyayian: kita bisa mengobrol dengannya di kantor sambil methingkrang dan bergurau seperti dengan tukang parkir sahabat karib kita.

Apalagi dengan proses redemokratisasi yang diselenggarakan oleh Cory Aquino: Rakyat semakin memiliki peluang besar mengontrol pemimpin-pemimpin mereka baik di bidang politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Jelas bagi otak Markesot, bahwa untuk mengelak dari gejala refeodalisasi di berbagai bidang kehidupan. Kultur feodal tidak hanya hidup kembali--di era pembangunan modern ini--dalam bidang peprajan, tapi juga dalam struktur pergaulan di bidang pendidikan, kesenian, bahkan juga keagamaan. Seorang kepala bidang, seorang direktur, seorang guru, dan dosen, seorang kiai, kita perlukan secara 'mewah' dalam tata kepriyayian modern.

Misalnya para pegawai di kantor Depdikbud entah di tingkat apa saja, kedudukan mereka sesungguhnya adalah pelayan rakyat dalam bidang-bidang hak mereka untuk berpendidikan. Tetapi kalau Anda mengurus surat-surat atau apa saja untuk keperluan pendidikan, Anda seolah-olah sedang berhadapan dengan para tumenggung di mana Anda harus patuh dan sabar mengakomodasi apa saja yang mereka kehendaki. Bahkan di kantor-kantor tertentu Anda harus "membeli pelayanan" dengan sejumlah uang, padahal pada hakikatnya mereka adalah pelayan rakyat, dan pajak rakyat dipakai untuk membayar para pelayan itu. Dalam praktiknya hal itu terbalik: Kita harus melayani mereka.

Markesot menjadi cemas kalau mengingat-ingat itu. Maka sesudah menginap di rumah Walikota Marikina, ia mencoba mencari kelemahan-kelemahan bangsa Filipina.

Dan ia jumpai itu di bidang-bidang tertentu. Misalnya dalam soal kreativitas makanan, kreativitas pengelolaan tempat tinggal, dan sebagainya.

Markesot mengemabara ke berbagai tempat, sampai ke desa-desa, bahkan ia sempat bermain-main dengan anak-anak desa di sungai untuk mengembala kerbau. Markesot pusing soal nasi bungkus. Karena dalam perjalanan darurat, Markesot dibekali, atau disuguhi nasi dan sayur yang dipaket secara sangat tidak kreatif. Nasi dimasukkan ke kantung plastik, sayur juga dimasukkan ke kantung plastik. Itu pun kantung plastik dipilih yang sempit dan memanjang. Markesot sungguh mengalami kesulitan untuk makan: setengah mati memasukan tangan ke kantung nasi lantas bagaimana cara mengambil cairan sayur dari dalam plastik. Markesot berpikir kenapa tidak ada teknologi bungkusan nasi dengan daun misalnya seperti di Indonesia?

Lebih celaka lagi karena secara tradisional orang Filipina relatif sangat miskin kreativitas dalam soal teknologi makanan. Di Indonesia, ketela saja bisa dibikin menjadi entah berapa macam makanan. Beras, kelapa, atau apa saja, diolah menjadi jenis-jenis makanan yang enak-enak. Bahkan kita punya makanan rondo-kemul, konthol-kambing, bol-cino, dan lain sebagaiya.

Sejauh yang diriset oleh Markesot, orang Filipina kurang canggih menyelenggarakan eksperimentasi makanan. Entah yang menyakut jenis makanan, bumbu-bumbu, atau ramuan-ramuan, apalagi jamu-jamuan. Kita di Indonesia punya setidaknya dua puluh enam macam sambal. Kita punya teknologi sambal yang tinggi, sehingga banyak perusahaan Belanda yang mengkomoditaskannya.

Juga orang Filipina kurang kreatif dalam mengurus rumah. Konsep kamar mandinya tidak jelas: Bak tak ada, pancuran tak punya--kecuali lapisan masyarakat yang sudah bersentuhan dengan 'referensi budaya internasional'. Juga tata letak ruangan-ruangan dalam rumah mereka, tempat tidurnya bagaimana, dan seterusnya. Di Jawa, rumah dibangun dengan berangkat dari konsep filsafat yang matang. Arsitektur tradisional Indonesia amat peka dan sadar ekosistem. Juga amat akomodatif terhadap kenikmatan hidup, keselarasan, bahkan sangat berkaitan dengan pengertian-pengertian kita mengenai kelihaian.

Dengan kata lain pemandangan rumah dan budaya makan-minum orang Filipina menunjukkan bahwa konsep hidup mereka telah dikacaubalaukan oleh penjajahan Spanyol dan Amerika Serikat yang memang jauh lebih kejam dan "membunuh kebudayaan" dibanding apa yang dilakukan Belanda di Indonesia.

Penjajahan Belanda dulu tidak membikin kebudayaan kita hancur, tidak membuat kehilangan filsafat hidup, tidak menghilangkan berbagai kreativitas hidup kita. Kita bahkan makin kreatif saja: dengan gaji resmi yang kecil, kita sanggup membangun rumah cukup mewah 'teknologi pengkayaan' apa yang kita pakai.
(halaman 236-239)


Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit :Mizan
Cetakan Pertama 1994
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar