Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

BUDAYA TANDING

 
Teater Babak Belur di Yogya

Yogya tetap sebuah kota budaya. Tetap sebuah 'telaga inspirasi' bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan yang menjangkau garis interval antara titik 'belakang' sejarah dengan titik 'depan'nya.

Yogya akan terus menyediakan 'alam'nya sebagai sumber fenomena-fenomena ekspresi kebudayaan; dengan syarat---'budaya' tidak harus dikonotasikan pada dimensi nilai lain---umpamanya, moralitas baik dan buruk. Artinya, budaya suatu masyarakat me-muat segala kans yang terbaik maupun yang terburuk. Nuansa 'klasik' Yogya tidak pernah lekang dan justru menjadi pendorong utama pencarian ke wilayah di depan(nya) kaki modernisme. Yogya selalu berusaha menjawab setiap tantangan baru yang disodorkan oleh semua khasanah modernisme--- baik dengan cara mengakali pencapaian-pencapaian estetika budaya baru, maupun dengan cara eksoterisme budaya keseharian yang blak-blakan.

Mari, dalam konteks ini, kita menfokuskan pandangan kita ke wilayah yang lebih khusus: kesenian modern, utamanya teater, di Yogya.

Kalau Anda ingin mementaskan drama atau membaca puisi di Yogya, lantas menjumpai birokrasi perizinan yang ekstra rumit --- dan mungkin agak 'paranoid' --- saya harus nyatakan kepada Anda bahwa itu adalah sebuah jawaban budaya dari lembaga keamanan negara kita di wilayah ini. Yogya pernah mengalami ---  dan relatif masih --- situasi yang merupakan potret paling tajam dari diterap-kan dengan mulus. Tetapi, sekali lagi, itu adalah suatu jenis jawaban budaya: betapa birokrasi tidak kenal fungsi-fungsi dan 'obyek' sejarah yang harus ditanganinya.

Birokrasi irasional itu menyiksa aparat-aparatnya untuk menangani sesuatu yang sama sekali tak dikuasainya. Petugas-petugas malang itu tidak punya mata untuk sanggup melihat kesenian dan karya seni, sebab yang tampak di matanya hanya "calon ancaman terhadap stabilitas". Dan tatkala sebuah pementasan tidak mereka izinkan, saya tahu para pelarang itu sama sekali tidak merasakan kebahagiaan apapun atas keputusannya yang penuh tahayul. Betapa berat tuntutan negara kita kepada polisi-polisinya sendiri: mereka sudah setengah mati mengurusi krimi--nalitas, brengseknya lalu lintas serta segala keadaan masyarakat yang memerlukan pengamanan --- masih pula harus berhadapan dengan naskah Anton Checov, reportoar absurd Iwan Simatupang atau puisi-puisi ajaib Sutardji Calzoum Bachri.

Bagi saya pribadi, pelarangan itu sudah merupakan sesuatu yang baku dan rutin, sehingga tidak terasa apa-apa lagi, Sudah lebih lima tahun saya bukan lagi 'warga kesenian Yogya'. Tanpa ada yang peduli. Saya sendiri pun tidak. Yang terpenting bagi saya adalah bahwa saya memiliki hubungan kemanusiaan yang baik dan lumanyan tulus dengan mereka-mereka yang dalam kerangka birokrasi seolah-olah memusuhi saya.

Dalam kepolosan pergaulan itu saya sering merasakan, bahwa banyak aparat yang sesungguhnya berposisi lebih 'teraniaya' secara struktural dibanding saya. Sebab, saya pribadi sudah lama belajar untuk tidak berkeberata, seandainya dalam hidup yang cuma sekali ini tidak ada kesempatan bagi saya untuk pentas dan mengkomunikasikan karya-karya. Ilmu hidup yang tertinggi bagi saya adalah kerelaan untuk tidak ada, sebagaimana aslinya hakikat saya. Tetapi, saya bisa memberi jaminan keada Anda, bahwa di Yogya situasi seperti itu akan berubah. Baik karena desakan proses demokratisasi, karena terobosan-terobosan kultural atau psikologis---bukankah para aparat adalah juga manusia yang memiliki kelembutan di dalam bungkusan jiwanya? Atau, sekurang-kurangnya Anda bisa mendadak memperoleh izin melalui satu dua jenis interkonsesi---material maupun non material---yang bisa membukakan gembok-gembok resmi.

(halaman 231-233)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Pustaka Belajar
Cetakan Pertama1995
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar