Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Secangkir Kopi Jon Pakir

 
Subjektivisme bawakaraeng (2)

Tak apa tiap hari makan tempe. Yang penting anggap saja makan daging. Tak apa tiap hari minum air sumur. Yang penting anggap saja minum susu atau setidaknya minum Aqua. Tak apa melarat, asal merasa kaya. Tak apa sedih, asal merasa bahagia.

Subjektivisme macam ini terkadang fatal, terkadang tidak.

Orang yang sudah matang hidupnya dan sudah menggengam inti hidup mampu berbahagia tanpa bahan atau fasilitas kebahagiaan. Sekali waktu kita menyangka alat kebahagiaan ialah, misalnya, disayagi istri, bisa punya rumah sendiri, bisa tukar tambah mobil baru, dapat SOB, kesebelasan favorit kita menang, atau apa saja.

Nafkah wajib dicari, rumah kalau bisa punya sendiri, istri ya yang cantik dan kepribadian bersih, syukur-syukur ada rejeki nomplok yang lain. Tapi kalau terpaksanya tak mendapatkan hal-hal itu, orang bisa saja tetap bahagia. Dengan kata lain: kebahagiaan tetap saja bisa datang. Kebahagiaan itu makhluk Tuhan yang tak pernah memberi syarat bahwa ia hanya mau hadir ke hati manusia melewati mobil, seset video, alat intercom dan lain-lain, kebahagiaan bisa kita undang secara polos.

Mungkin dengan sugesti. Mungkin berdasar sikap batin. Mungkin dengan rajin sembahyang. "Hayya 'alal-falaaaah!" --- teriak para pengazan dari masjid-masjid. Mari memasuki kebahagiaan! Terapinya ialah sembahyang. Ia polos dari fasilitas-fasilitas keduniaan.

"La takhaf wala tahzan, Innallaha ma'ana!" --- Jangan takut dan jangan bersedih, Tuhan bersama kita. Terapi kebahagiaan di sini adalah Allah. Jangan ngeri kalau hidup tak punya apa-apa, asal tetap punya Allah.

Tapi bukan lantas kita tiap saat nrithil*) bersama Allah-Allah-Allah saja di mulut dan tak pergi bekerja. Ini bukan anjuran untuk miskin. Kemiskinan bukan ideologi. Bukan akidah. kemiskinan wajib dihindari. Tapi kalau dengan kerja keras tetap juga miskin, kita tak kurang alasan untuk bersyukur. Kebahagiaan tidak sama dan sebangun dengan kekayaan. Tapi kita juga tidak lantas bersikap 'puritan' dengan menolak kekayaan.

Biasa-biasa saja. Kalau sudah menjalani kewajaran hidup dan kerja keras, kaya ya alhamdulilah, miskin ya alhamdulilah. Kekayaan dan kemiskinan, dalam arti material maupun ruhani, memiliki objektivitasnya sendiri-sendiri. Kebahagiaan adalah soal yang lain.

Kalau objektivitas itu dibolak-balik, namanya klenik.

Makan subjektivitasme Bawakaraeng itu, jadinya, juga klenik.
(halaman 123-125)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang
Cetakan Pertama 2018
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar