Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

DAUR II

 
Apakah Itu Suara-Mu?

Tiba-tiba di tepian hutan itu terdengar suara teriakan yang sangat keras dan panjang.
Sebagian makhluk mendengarnya sebagai suara guntur yang megelegar. Sebagian yang lain mendengarnya berupa sapuan dahsyat badai badai yang melintas berputar-putar. Yang lainnya lagi mendengar campur baur suara berbagai macam binatang, dari harimau yang mengaum, lembu-lembu yang mengeluh, ribuan burung berceloteh, ayam-ayam berkokok. Bahkan, ada sebagian yang mendengar semacam suara terompet yang mengerikan dari arah langit, yang bercampur nada sangat rendah dengan nada sangat tinggi.

Apakah itu suara-Mu wahai Sang Hyang Sangkan Paran yang hamba senantiasa rindukan dengan seluruh kekerdilan hamba sepanjang perjalanan hamba?

Markesot berbisik.
Sesungguhnya semua manusia diam-diam punya keinginan untuk mendengar suara Tuhan secara langsung. Pada hakikatnya setiap jiwa manusia memendam kerinduan terhadap asal-usulnya dan satu-satunya terminal akhir pengembaraan hidupnya.

Andaikan boleh, setiap orang sangat bahagia apabila dikasih wahyu. Okelah hanya para rasul dan nabi yang diberi hak untuk mendapatkan wahyu Tuhan-nya. Para aulia dihadiahi karamah yang kadarnya lebih relatif dan tidak padat sebagaimana wahyu. Markesot sebagai manusia biasa, sebagaimana miliaran manusia lainnya, kabarnya dibonusi ilham juga. Yang kualitsnya jangan sama sekali dibandingkan dengan wahyu atau karamah.

Bahkan, seniman-seniman yang tak memercayai adanya Tuhan, kesibukan utamanya adalah mencari ilham demi progresivitas kreatifnya.

Kiai Sudrun pernah menjelaskan kepada Markesot bahwa semua itu sebenarnya adalah rahmat. Rahmat Allah itu universal. Diberikan kepada siapa saja yang Tuhan maui, tanpa batasan identitas, golongan, Muslim atau kafir. Para pencuri dan penjudi pun menerima rahmat. Para pelacur dan semua lelaki yang melacur pun mendapatkan rahmat itu berupa kenikmataan perzinaan sampai batas tertentu.

Akan tetapi, tidak setiap rahmat Tuhan diizinkan oleh-Nya untuk menjadi berkah yang disukai dan diridai oleh-Nya. Bahkan, Kiai Sudrun sering dengan kalimat "Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa 'azabuh". Semoga Tuhan menyampaikan kepadamu keselamatan, rahmat, dan azab.

Kiai Sudrun menyindir yang sedang berlangsung di negeri tempat tinggalnya Markesot. Yang pendudukanya merasa sedang membangun rahmat, padahal sedang menumpuk-numpuk azab. Merasa sedang memilih dan menjunjung berkah kempemimpinan, padahal sedang menggendong azab.

Kiai Sudrun dengan tenangnya bisa tertawa-tawa mengucapkan itu. Padahal, Markesot tegang, mbentoyong, dan menahan amarah.

Rahmat Tuhan diturunkan bagai hujan yang menaburi seluruh hutan, desa, dan kota-kota. Menimpa tetumbuhan, binatang, dan manusia. Apabila rahmat itu berupa informasi dan tuntunan, disebut hidayah.

Pada alam, hidayah sudah otomatis merupakan bagian alamiah dari habitatnya. Ke mana ayam melangkah dan mematuk-matuk, dibimbing oleh hidayah alamiah. Namun, pada manusia, karena dia dan mereka adalah makhluk pengelola, hidayah itu diperlukan dalam suatu proses tawar-menawar yang dinamis, antara pertimbangan dan keputusan manusia dan perkenan atau kemauan Tuhan.

Kebanyakan manusia tidak melibatkan diri dalam proses dialektika tawar-menawar hidayah itu secara pro-aktif. Umumnya mereka hanya dididik untuk cara hidup jasadiyah dan materialisme sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat jarang merasakan atau menyadari ada dan hadirnya Tuhan.

Tuhan terlalu abstrak bagi cara pandang mereka sehari-hari. Mereka memang bertahan percaya bahwa sesungguhnya Tuhan memang ada dan bekerja untuk mereka, tetapi itu sebatas kepercayaan. Kepercayaan yang tak ditemani oleh ilmu dan hikmah pengalaman, bisa berubah menjadi mitos. Mitos yang dipelihara terlalu lama, menjadi khayal atau takhayul.

Jadinya, posisi Tuhan di dalam kejiwaan kebanyakan manusia sesungguhnya terletak pada wilayah takhayul. Namun, mereka tidak berani keluar dari wilayah takhayul itu karena, toh, kebanyakan teman-temannya juga bertahan di situ. Omong sehari-hari menyebut Tuhan, bikin negara dengan mencantumkan Tuhan di baris pertama kalimat-kalimatnya.

Padahal, pada praksis sehari-harinya Tuhan sangat jarang diperlukan sebagai subjek yang riil. Bahkan, lama-lama Tuhan hanya diambil namanya, untuk dimanfaatkan sebagai pengatasnamaan, kemudian akhirnya menjadi komoditas atau barang jualan untuk memperlebar pengaruh politik dan peningkatan lakunya dagangan-dagangan mereka.

Akan tetapi, masih lumayan Tuhan disebut-sebut, meskipun Tuhan sama sekali tidak butuh disebut-sebut. Bahkan, ada kemungkinan Tuhan kecewa dan marah kalau nama-Nya disebut-sebut, dipakai-pakai, untuk perilaku yang pada hakikatnya menentang penyutradaraan-Nya atas kehidupan para makhluk di alam semesta, utamanya di Bumi.

Kenyataan-kenyataan seperti itu ditanggapi oleh Kiai Sudrun dengan lebih banyak tertawa-tawa. Berbeda dengan Markesot, yang meskipun sangat suka dan sering hampir selalu bercanda, tetapi tampak sebenarnya dia masih tegang.

Kalau ditanya, kenapa dia tegang? Markesot biasanya menjawab, "Tegang kadang-kadang, tetapi tidak cemas. Yaah, saat-saat tertentu ada cemas sedikit-sedikit, tetapi tidak cemas sampai segitu-segitunya."

Atasan Hidup Markseot hanya Kanjeng Nabi dan Allah sendiri. Kiai Sudrun bukan atasan, bukan guru buka mursyid. Boleh dibilan Kiai Sudrun hanya rekanan-tanding. Sparring partner. Untuk berlatih ketahanan mental dan rohani dalam bertabrakan dengan kenyataan-kenyataan yang memuakkan, menjengkelkan, dan memprihatikan.

Tuhan sendiri yang menyatakan bahwa orang yang hidup karena dan untuk-Nya, tak tersentuh oleh rasa takut dan kesedihan.

Padahal, Markesot betahan jomblo semata-mata karena rasa takut yang berlebihan untuk berkeluarga. Dan, sangat jelas dia selalu tampak sedih memikirkan keadaan masyarakat dan negara.

Markesot bukan tidak menyadari itu. Maka, dia mengulangi pertanyaannya sehabis terdengar terompet agung seluruh kekerdilan hamba sepanjang perjalanan dia berada:

"Apakah itu suara-Mu wahai Sang Hyang Sangkan Paran yang hamba senantiasa rindukan dengan seluruh kekerdilan hamba sepanjang perjalanan hamba?"

Ternyata tidak ada jawaban apa pun yang dia dengar atau rasakan. Markesot ge-er. Dengan perjalanan sunyi menelusuri sungai dan memasuki hutan itu dia berharap akan meningkat software-nya: tidak hanya mampu memetik ilham, tetapi juga ada kans untuk siapa tahu dianugerahi karamah oleh Sang Hyang, meskipun mustahil mendapatkan wahyu.

Sedangkan bagi Markesot, itu semua tak lebih dari suara kesedihan yang mendalam dari lubuk jiwanya sendiri.


(halaman 133-138)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : BENTANG
Cetakan 2017
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar