Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

Majalah Sabana Edisi 7

 
Balada Rumput dan Kambing'

Di masa kanak-kanakku aku berteman dengan seorang anak kecil yang sebaya, bahkan seusia denganku. Mungkin karena kesebayaan itu kami berteman sangat karib.

Kami, tentu saja, sangat saling menyayangi. Bahkan padaku lebih dari itu. Tanpa sengaja pelan-pelan aku merasakan dan menyadari bahwa selalu di dalam hati kuletakkan ia tidak di sisiku, melainkan di depanku. Seakan-akan aku adalah pengawalnya.

Ke manapun ia pergi, aku mengawalnya, membuntutinya, berjalan di belakangnya. Ia seorang pelari yang luar biasa cepat. Aslinya sesekali aku mampu berlari lebih cepat darinya, tetapi belum pernah aku melampauinya. Selalu aku letakkan diriku melangkah dibelakangnya. Tidak pernah tahu persis kenapa aku bersikap seperti itu.

Memang pernah satu kali aku berlari melampauinya, secara spontan itu kulakukan dengan maksud untuk memacu dan memancing agar ia lebih cepat. Sebab kami sedang dikejar oleh seorang petani yang mentimun di sawahnya kami curi sepulang sekolah. Mencuri tidak tanggung-tanggung, buah "krai" atau sebagian orang menyebutnya mentimun atau ketimun itu memenuhi saku baju kami, saku celana dan tas sekolah kami.

Kalau aku tidak memacu sahabatku itu berlari lebih cepat dengan cara melampauinya berlari, hampir bisa dipastikan kami akan ditangkap oleh petani Dusun Sebani itu. Dan resikonya benar-benar tidak ringan. Tidak hanya soal malu kepada teman-teman lain dan masyarakat, tapi Ibu sahabatku itu sangat menakutkan.

Dan ternyata itu tanpa kami sangka-sangka benar-benar terjadi. Si petani tahu siapa kami, melaporkannya ke Ibu sahabatku, sehingga tanpa kata tangan Ibu sahabatku itu menjewer telinga putranya, dan tangan kiri menjewer telingaku. Beliau menyeret kami berdua dan dalam keadaan telinga dijewer, berjalan melintas desa menuju rumah petani.

Kami disuruh duduk seperti orang shalat bertahiyat, membungkukkan punggung dan menundukan kepala, diperintahkan untuk meminta maaf sejadi-jadinya kepada pak petani. Anak-anak kecil dan para tetangga desa sebelah itu meyaksikan bagaimana dua pesakitan kecuali  ini menanggung malu.

Kemudian Ibu sahabatku itu membayarkan uang seharga mentimun yang kami curi. Dan akhirnya kami digiring pulang ke desa kami dengan sepanjang jalan disuruh mengucapkan keras-keras hapalan surat-surat pendek Al-Quran yang kami hapal.

***

Sejak peristiwa mentimun itu aku mulai sedikit menyesali dan bertanya-tanya tentang sahabatku ini.

Ayah sahabatku ini mengasuh Sekolah Dasar, yang dibangun di bagian kiri halaman rumahnya yang sangat luas, sedangkan di sebelah kanan ada Masjid kecil yang kami sebut "Langgar" atau yang umumnya orang menamakannya Musholla.

Kenapa sahabatku ini tidak bersekolah di Sekolah Dasar ayahnya sendiri? Kenapa dia memilih bersekolah di Sekolah Dasar desa Bakalan yang letaknya jauh dan berentang dua desa dari desa kami? Diam-diam aku bertanya juga kenapa pula aku mengikuti sahabatku ini bersekolah tidak di tempat yang sangat dekat dengan tempat tinggal kami.

Rasanya tidak ada seorang Ayang mengarang-ngarang lakon di mana putranya disekolahkan di tempat yang jauh, sedangkan ia sendiri punya Sekolah. Yang dengan sendirinya urusan pendidikannya lebih terjamin jika bersekolah di Sekolah yang dikelolanya sendiri.

Aku tidak pernah ingat bagaimana hal itu dulu terjadi. Tahu-tahu kami sudah bersekolah di desa jauh Bakalan. Bangun sangat pagi karena harus mencukupi waktu menuju Sekolah yang kami tempuh sekitar satu jam. Pulang sekolahpun tak segera tiba di rumah, harus berpanas-panas melintasi galengan sawah-sawah, dua sungai dan satu tuangan atau bulak.

Begitu tiap hari. Keasyikan dan kenikmatanku bersahabat dengannya membuat pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam hatiku tenggelam. Bahkan ketika pada suatu hari di tengah mata pelajaran di kelas, sahabatku itu kencing di atas meja belajar, sangat aneh aku tidak menyalahkannya.

Oleh Pak Guru ia di"pares", di"strap" atau dihukum beridir di atas bangku pojok kiri depan, gara-gara ia membantah dan mempertanyakan--- kenapa kalau murid terlamat 2-3 menit dihukum oleh Guru, sedangkan kalau Pak Guru terlambat datang sampaipun setengah jam: murid tidak boleh menghukumnya.

Di tengah sahabatku itu berdiri di atas bangku, tiba-tiba ia mau berhajat buang air kecil. Dan karena tidak mungkin ia turun dari bangku untuk ke kamar kecil, maka ia kencing di atas bangku itu. Ketika kemudian Pak Guru marah--- memang pastilah demikian---sahabatku itu bukannya minta maaf atau merasa bersalah.

Ia malah melompat dan melontarkan satu kakinya ke badan Pak Guru. Seluruh kelas ribut. Bahkan seluruh Sekolah. Langsung pihak Sekolah mengutus salah seorang Guru untuk mendatangi Ayah sahabatku, dan dalam waktu cepat si Ayah pun tiba.

Sahabtku itu dipanggil masuk ke kantor Guru, dimana ada Ayahnya di situ. Dan tentu saja aku menguntitnya dari belakang. Meskipun tak boleh masuk, tapi aku berjaga di sisi pintu.

Pengadilan berlangsung sangat cepat. Bahkan sepertinya belum sempat ada tanya jawab sebagaimana layaknya pengadilan. Tiba-tiba sahabatku itu keluar ruangan. Tanpa berkata apapun ia ngeloyor masuk kelas, mengambil tasnya, kemudian keluar ke halaman sekolah, ke jalan dan pergi.

Besoknya ia tidak berangkat ke Sekolah. Juga besoknya lagi, besoknya lagi dan seterusnya. Aku tidak tahu dengan tidak lagi bersekolah, apa yang terjadi antara sahabatku itu tidak lagi bersekolah, apa yang terjadi antara sahabatku itu dengan Ayah dan Ibunya. Yang pasti aku belum pernah melihat atau mendengar bahwa ia dimarahi oleh orang tuanya.

Ia tidak bersekolah, dan tampaknya tidak ada yang aneh dari kenyataan itu. Semua berjalan baik-baik saja Kakak-kakak sahabatku itu tak pula menunjukkan perilaku yang mencerminkan bahwa mereka mencemaskan adiknya yang tidak sekolah.

Kalau murid-murid Sekolah Ayahnya berdatangan pagi-pagi, sahabatku itu keluar rumah dan ikut bermain dengan mereka. Ketika mereka masuk kelas, sahabatku itu berkeliaran dan melintas-lintas di depan kelas-kelas, Sesekali dari balik pintu luar ia mendengarkan Pak Guru mengajar dan semua yang terjadi di dalam kelas.

Kalau menjelang magrib, sahabatku itu bermain di depan Langgar sebagaimana semua anak-anak kecil: Gobag Sodor, Jenthik, Jumpritan, Nekeran, atau beradu gulat, 'diadu' oleh para 'Senior' komunitas Langgar yang setiap malam mengajari mengaji dan menjelang tidur menuturkan dongeng-dongeng.

Sahabatku itu tak pernah tidur malam di rumahnya. Ia selalu tidur di Langgar. Hanya saja aku sering mendengar kalau siang-siang panas hingga sore, ia sering tiduran berdua dikamar dengan Ibunya. Rupanya sang Ibu mengajarinya qiroat. Sesekali ia bersama Ayahnya di ruang tengah, omong-omong grenak-grenik berdua, dan sahabatku itu menghapalkan kalimat-kalimat entah apa dari Ayahnya.

Pada suatu pagi ia mengajakku main, pergi melintasi sawah-sawah, masuk ke kuburan sebelah timur desa, dan berhenti di dalamnya, duduk di antara batu-batu nisan. Sesekali ia mengajakku omong-omong, di saat lain ia terdiam lama sekali. Memandangi nisan-nisan, meratakan tatapannya ke seantero kuburan, melayangkan pandangan ke langit, berbagai wilayah langit. Menjelang sia ia berdiri, berjalan menelusuri makam demi makam dan mengucapkan "Assalamualaikum" kepada para Ahli Kubur satu persatu.

Tatkala matahari melewati puncak peredarannya di langit, ketika panas menembaki kami dengan puncak suhunya dari sela-sela dedaunan dan pepohonan, tiba-tiba terdengar bunyi kambing megembik. Sahabatku terkesiap, menoleh ke arah suaru itu. Kemudian berjalan bersijingkat menghampirinya, dan aku mengikuti di belakanngnya.

Serombongan kambing, sekitar 17 ekor, sedang merundukkan badannya, menjulurkan leher dan kepalanya, meminum air bergemericik di sungai kecil di tepi kuburan. Kami terpakau sangat lama menyaksikan dan mencoba turut meraskan, atau sekurang-kurangnya membayangkan apa yang bergolak di dalam jiwa kambing-kambing itu ketika meminum air segar sejuk itu dibawah panggangan matahari.

Dan yang tak kusangka-sangka adalah sahabatku itu menangis, semula ia masih menahannya tapi kemudian jebol hatinya sehingga menangis sesenggukan dengan napas tersengal-sengal.

Diam-diam saya bertanya mana dan siapa yang menggembalakan kambing-kambing ini. Tidak ada kambing liar. Selalu ada memilikinya dan menggembalakannya. Benih kambing ditaburkan dari langit dengan tugas dan kewajiban yang sangat terkait erat dengan manusia dan pengelolaan kemanusiaan.

Prinsi kemakhlukan dan koordinar semestawinya berbeda dengan anjing hutan atau harimau, musang atau serigala. Kalau Tuhan sesekali menggambarkan manusia "mereka bagaikan binatang, bahkan lebih hina", rasanya bukan kambing yang dimaksud dengan idiom binatang itu. Meskipun sejarah peradaban-peradaban mencatat bahwa manusia yang punya potensi lembut dan arif seperti kambing, ternyata sanggup mempeprhinakan dan memperbodohkan dirinya menjadi lebih parah dari musang, serigala dan anjing hutan: "bahkan lebih hina".

Maka biasanya kambing tidak berlari-lari sendiri, berombongan mengembara sampai ke kuburan sebagaimana yang kami saksikan siang itu. Selalu ada yang menggembalakan. Baik kambing "gibas" yang berbulu tebal, yang ekstrovert dan suka berkeliaran bebas di daerah-daerah rerumputan. Apalagi kambing "jawa" yang lebih suka tinggal di kandang dan makan daun-daunan "ramban", bukan terutama rerumputan.

Alkisah, semua Nabi dan Rasul dipasang Tuhan di bumi dengan salah satu tugas yang sangat 'sederhana', yakni menggembalakan kambing. Pasti ada konsep kebudayaan dan rekomendasi peradaba di balik kenyataan langit di bumi itu. Dan sepertinya pada semua wacana tentang Nabi-Nabi menggembalakan kambing, tidak ada jenis kambing Jawa yang digembalakan.

Mungkin karena di Jawa memang tidak ada rangsum Nabi dan Rasul dari Tuhan. Atau mungkin justru karena kambing jawa memang berbeda, maka tidak diperlukan Nabi dan Rasul untuk menggembalakannya. Barang siapa ingin memperoleh kepastian tentang ujung pangkal fenomena ini, bersegeralah bertanya langsung kepada Tuhan, dan jangan memperdebatkannya dengan sepatah katapun sebelum memperoleh jawaban langsung dari Tuhtan.

Tetapi semua pertanyaan itu terhapus dari ingatanku, karena mendadak sahabatku berlari sangat kencang. Dari kuburan melintas galeng-galengan sawah menuju rumahnya.

Sebelum masuk rumah, di depan Langgar dilihatnya Cak Markesot sedang duduk-duduk santai sehabis shalat dluhur. Sahabatku menghampirinya dan berkata, "Cak Sot, mbok tolong nanti malam saya dikenalkan dengan Raja Kambing..."

Markesot kaget. "Raja Kambing?"
"Kan beberapa hari yang lalu Cak Sot berkelahi melawan Raja Tikus, gara-gara penduduk sekampung beramai-ramai membunuh hama tikus di sawah."

Markesot tertawa. "Jadi kamu mau nantang Raja Kambing?"

Sahabatku menjawab, "Ndak, Cak Sot. Aku cuma mau kenalan, dan kalau boleh akan merundingkan beberapa hal."

Markesot berdiri. Mengeluarkan pisau dari pinggangnya. Kemudian berjalan mendekat pohon kelapa. Ia melemparkan pisau itu beberapa meter hingga menancap ke badan pohon kelapa.

"Belajar lempar pisau dulu, baru berpikir ketemu Raja Kambing."

Markesot mengambil kembali pisaunya. Kemudian mundur. Tadi ia melemarkannya dengan memegang gagangnya, sekarang ia melempar dengan memegang ujung pisau.

Markesot mengulang beberapa kali. Kemudian ia mencopot kaosnya. Sahabatku disuruh mengikatkannya di kepala Markesot sampai menutupi kedua matanya. Lantas Markesot melempar pisaunya, beberapa kali dan menancap. Bahkan tidak sekedar menancap, tapi tepat di titik sasaran yang ia sebut, atau kemudian yang sahabatku disuruh menentukan titik mana yang harus ditancapi oleh ujung pisau.

"Setitik sasaran yang akan kau tancapi ujung pisau, harus kau pandang dengan perasaan mendalamu sehingga satu titik tampak sangat terang benderang seluas alam semesta," kata Markesot, "Jagat raya ini hanya satu titik sangat kecil, dan satu titik sangat kecil itu adalah alam raya yang tak terbatas luasnya."

Dan kemudian sahabatku itu mencobanya. Dua kali meleset. Tapi kali ketiga dan seterusnya ia mencapai apa yang Markesot capai. Seolah-olah setiap tiitk di pohon, diruang, di alam semesta, sudah terang benderang bagi sahabatku di pera "roso"nya.

***
(halaman 80-82)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Perkumpulan Sastra Malioboro Yogyakarta
Cetakan Mei 2015
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar