Skip to main content
Banawa Maiyah

follow us

Like Facebook | Follow Instagram

APA yang Benar, Bukan Siapa yang Benar

 
'Indonesia Tidak Belajar kepada Yogya'

Beruk mengemukakan bahwa orang sekarang cenderung merasa lebih hebat daripada orang dulu. Masyarakat sekarang merasa lebih maju daripada masyarakat dulu. Peradaban manusia sekarang diam-diam memastikan di dalam dirinya bahwa mereka lebih pandai daripada manusia zaman dulu.

Parameter landasan rasa lebih hebat itu terutama sekolah, teknologi, dan gebyar hedonisme materialistis mereka. Ini suatu tema luas dan rentang pembicaraanya sangat panjang serta complicated mozaik konteksnya. Beruk bilang tidak ingin berdebat soal ini, terutama karena setiap orang yang berdebat di dunia modern hampir selalu hadir dengan parameter subjektifnya.

Orang zaman sekarang tidak merasa perlu belajar, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan nafsu dan kemewahan hidup mereka. Tidak punya kemampuan untuk berdialog dengan kerendahan hati dan kesadaran bahwa kebenaran pada setiap manusia itu bersifat relatif. Mereka tidak siap untuk "sinau bareng". Kalau bertemu, niat mereka mempertahankan kebenaran yang dipahami, kemudian diam-diam memaksakannya kepada orang lain.

Mereka tidak punya kebiasaan untuk mencari kebenaran bersama-sama. Tidak cenderung datang dengan "biso rumongso". Malah menantang siapa saja diluar dirinya dengan sikap mental "rumongso biso", merasa unggul, merasa paling benar, merasa pasti masuk surga, dan semua yang akan ditemuinya adalah para penghuni neraka. Itu pun mereka sibuk dan selalu ribut dengan menyimpulkan "siapa yang benar" dan "siapa yang salah". Siapa-siapa yang dianggap benar, sehingga dia "pro" maka disimpulkan benar 100%, sedangkan yang salah pasti salah 100%.

lebih parah lagi, pemenang pada setiap persaingan disimpulkan sebagai yang benar. Yang benar pasti berkuasa. Yang berkuasa pasti baik. Yang baik tidak sedikit pun ada buruknya. Bahkan, variabelnya berkembang-kembang: yang kaya itulah yang menang, benar, baik, sukses, ditambah diridai Allah dan masuk surya. Sampai-sampai almarhum Asmuni dalam sebuah episode Srimulat berkata lantang "Saya, kan, kaya maka saya lurah. Lurah yang kaya tidak mungkin salah, tidak mungkin burukm tidak mungkin kalah. . ."

Setiap kali berkunjung ke Yogya, Mahaparih (perdana Menteri) Gadjah Mada bahkan diam-diam bergumam, "Dimana letak saya di universitas kebanggan cucuku Yogya ini? Saya tidak menemukan diri saya di prinsip berpikir mereka. Saya tidak berdetak bersam jantung meraka. Saya tidak mengalir di darah mereka. Kenapa sekolah ini diberi nama menggunakan nama saya? Namun, untunglah namanya buka Ratu Shima atau Pangeran Padma sehingga tidak lebih runyam lagi harkat rohani nenek dan kakek saya itu."

Kata Beruk, memang manusia zaman sekarang sungguh mengherankan. Gadjah Mada bodoh kalau menuntut Lembaga Gadjah Mada beserta para kaum terpelajarnya yang belajar kepadanya. Sedangkan Indonesia didirikan dengan "didukuni" oleh Yogyakarta, ditraktir menggaji pemerintahnnya pada tahun-tahun awal, dipinjami tanah, gedung dan fasilitas-fasilitas, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa Indonesia belajar kepada Yogyakarta.

Entah anak siapa Indonesia itu. Tiba-tiba lahir sebagai republik, sebagai negara, bersifat kesatuan, dengan tata aturan yang tidak terkait dengan asal-usul sejarah yang melahirkannya. Tanpa pernah bertanya atau belajar kepada para leluhurnya. NKRI ini lahir dari Ibu Pertiwi , tetapi seakan-akan bapakanya bukanlah bangsa Indonesia, yang kandungan nilai sejarah selama hampir tiga milenium demikian dahsyatnya.

(halaman 40-42)

Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang
Cetakan Pertama Agustus 2020
Dipublikasikan : Banawa Maiyah

You Might Also Like:

Buka Komentar